
HARI KE-1
Hari ini menjadi waktu paling berat bagi suamiku, Angga. Dia harus kehilangan Ayahnya, setelah 15 tahun silam Ibunya juga meninggal. Sebagai istri, aku pun ikut pulang ke kampung halamannya di Kalimantan.
Perjalanan ke rumah orang tua Angga tidaklah singkat, setelah tiba di Bandar Udara Supadio Pontianak, kami masih harus menggunakan mobil untuk menuju sebuah kota kecil di daerah Kalimantan Barat yang memakan waktu 4 jam.
Setibanya di sana, aku bisa melihat banyak bendera putih dikibarkan sepanjang jalan. Bendera ini memang menandakan bahwa baru saja ada seseorang yang meninggal, sehingga kerabat atau tetangga tahu dan bisa berpamitan untuk kali terakhir. BandarQ Online
“Oh iya ini kenapa rumah kamu juga ramai?” Tanyaku heran karena melihat banyak orang, memenuhi teras.
“Kan acaranya di rumah.”
“Di rumah?” Tanyaku masih bingung. “Kok nggak di rumah duka aja?”
“Di sini belum ada Rumah Duka.” Jelas Angga.
“Jadi jenazahnya ada di rumah?”
Angga mengangguk.
Aku hanya membulatkan bibirku tanda mengerti. Walau sebenarnya hal ini sangat ganjil untukku yang terbiasa tinggal di kota besar. Namun bagaimana lagi? Di sini jangankan mal, minimarket saja tidak ada.
HARI KE-5
Semua berjalan lancar, bahkan selama 4 hari tidur di rumah Angga dengan jenazah Ayahnya yang masih berada di ruang tamu, aku tidak mengalami gangguan apa pun. Walau sebelumnya aku sempat was-was karena setiap kali keluar kamar, harus melewati jenazah Ayahnya.
Namun hal janggal justru terjadi usai Ayah dikuburkan. Malam itu kami memilih tidur di ruang tamu, karena kamar digunakan oleh Bibi Angga yang baru sempat datang. Semula semua terasa seperti biasa, hingga pada pukul 03.30 aku mendengar Rafa keponakan Angga menangis.
“Kenapa tuh?” Tanyaku pada Angga yang juga terbangun.
“Minta susu kali, laper.”
Aku mengangguk paham dan kembali memejamkan mata.
“Tak Tak Tak.”
“Ngga bangun.” Pintaku menggoyangkan badannya. “Denger tuh ada yang naik turun tangga.”
“Tak Tak Tak.”
“Tamu kali.” Sautnya asal dan kembali tidur.
“Semua kan tidur di kamar bawah.” Jawabku mengingatkan. “Lagian lantai atas kan kosong, ngapain juga tamu iseng ke atas?”
“Biarin aja.” Balasnya. “Aku ngantuk banget.”
“Ish!” Kataku kesal melihatnya tidur lagi.
Aku berusaha memejamkan mata dan mengabaikan suara itu, namun sekalipun berpura-pura tak mendengar seluruh tubuhku tetap bergetar ketakutan.
“Aduh gimana ini?” Keluhku dalam hati, aku sangat takut hingga berkeringat, namun jangankan menyalakan kipas, membuka selimut saja tak berani.
Tanpa kusadari akhirnya aku tertidur dan baru terbangun karena ramainya rumah Angga di pagi hari. Aku masih ingat dengan jelas langka kaki yang kemarin kudengar, rasanya seperti mimpi namun nyata.
“Aneh banget.” Keluhku sambil mengambil segelas air di dapur.
“Lho.” Kataku terkejut karena melihat adik Angga dari pintu depan. “Gita kapan kamu keluar?”
“Dari tadi Kak, si Rafa merengek minta jajan.”
“Ha?” Kataku masih terkejut dan berlari kecil ke dapur tempat aku melihat Anggita duduk di meja makan.
Kosong
Aku masih berdiri tak percaya. Aku yakin bahwa tadi melihatnya sedang duduk dan menyisir rambut. Kalau bukan Gita, siapa sosok yang kulihat tadi?
“Kenapa sih Sis?” Tanya Angga melihatku linglung.
“Aduh aneh banget deh Ngga, aku tadi lihat Gita di dapur.”
“Kamu yakin bukan mimpi?”
“Gimana mimpi, ini aja gelasnya aku masih bawa! Tadi kan aku ambil minum, terus lihat dia duduk sambil menyisir rambut.” Jelasku meyakinkan Angga.
Angga tertawa. “Udah-udah, nggak mungkin kan hantu muncul pagi-pagi?”
Aku mencubit pelan perut Angga. “Tapi yang tadi malam kamu juga dengar kan?”
Angga mengangguk. “Mungkin cuma mampir.”
“Itu artinya tadi aku mungkin melihat ‘mereka’ kan?”
“Udah jangan terlalu dipikirin.”
HARI KE-6
“Huuhuhu Huaaa.” “Huuhuhu Huaa.” Tangis Rafa kembali membangunkanku. Aku melihat jam saat ini menunjukkan pukul 03.30 dini hari, waktu yang sama dengan dia menangis kemarin. Apa mungkin suara orang naik turun tangga tersebut akan terdengar kembali?
Hening
Rafa sudah kembali tertidur dan aku belum mendengar suara gangguan lagi, mungkin benar kata Angga mereka hanya mampir.
“Tak Tak, Prang, Tak Tak, Prang.”
Aku kembali terkejut. Baru saja ingin memejamkan mata, suara gangguan itu kembali muncul. Kali ini bukan lagi suara naik turun tangga, melainkan seseorang yang melakukan aktivitas di dapur, seperti suara pisau memotong daging dan orang sedang memasak.
“Tak Tak, Prang, Tak Tak, Prang.” Suara itu kembali terdengar, sangat jelas.
Ngga bangun.” Panggilku padanya yang masih tidur dengan nyenyak.
“Hmm.” Sahutnya tak peduli.
Aku menggoyangkan tubuhnya berulang kali. “Ayo bangun Ngga!”
“Hmm.” Sahutnya. “Udah diemin aja.” Lanjutnya memelukku agar tak takut.
HARI KE-7
Hari ini suami Anggita baru kembali dari luar kota, namun karena kamar mereka digunakan oleh saudara Ayah mereka, maka Adi mengajak Gita tidur di lantai 2 bersamanya.
Lantai 2 memang sudah lama tak ditempati, mungkin karena itu kemarin aku mendengar suara iseng orang naik turun tangga. Berbeda denganku, Angga tidak ambil pusing. Bahkan dia pun juga mendengar suara seseorang sedang beraktifitas di dapur, namun karena terlalu mengantuk Angga memilih kembali tidur.
“Hhh.” Aku menghela napas. Semoga dengan adanya Adi dan Gita di lantai 2 tidak ada lagi makhluk iseng yang menggangguku.
“Tak Tak Tak.”
Aku kembali membuka mataku dengan terkejut. Suara itu datang lagi!
“Tak Tak Tak.” “Tak Tak Tak.”
Aku menutup mataku, suara itu bukan lagi dari tangga melainkan di bawah kakiku! Bagaimana ini. Rasanya tubuhku sangat lemas. Bahkan untuk membangunkan Angga saja aku tak berani bergerak.
“Tak Tak Tak.” “Tak Tak Tak.”
Suara itu semakin jelas di telingaku, seperti seseorang sedang berjalan mondar mandir. Kenapa harus aku. Apa karena belum pernah kemari, aku dianggap sebagai tamu tak diundang?
“Siska.” Bisik seseorang di telingaku. Seketika semua kesadaranku hilang. Hal terakhir yang kuingat, suara itu membuat seluruh tubuhku bergidik.
“Ada apa sih?” Tanyaku pada Angga karena semua orang berkumpul dan berbicara sangat antusias seolah ada hal besar baru saja terjadi.
“Kamu kesurupan.”
“Ha?” Kataku terkejut. “Kesurupan? Kamu becanda?” Lanjutku tertawa.
“Beneran.” Jawabnya serius. “Ini Mbah Darmi yang bantu keluarin jin di tubuh kamu.”
“Jin? Gimana, gimana? Aku nggak paham.” Kataku masih tak tak percaya, karena menganggap bahwa cerita manusia bisa dirasuki hantu hanya akal-akalan dari sebuah acara televisi untuk menaikkan rating mereka.
“Nggak apa-apa Nak, biasanya orang yang kesurupan nggak akan sadar apa yang terjadi.” Jawab Mbah Darmi menjelaskan padaku.
Aku mengangguk paham. Walau belum sepenuhnya percaya, tapi tidak mungkin juga Angga membohongiku.
“Kenapa saya bisa kesurupan Mbah?”
“Dia mengincar kamu.”
“Saya?”
Mbah Darmi mengangguk. “Kamu ingat ada melihat batu besar di dekat jembatan?”
Aku mengangguk.
“Itu tempat tinggal dia. Kamu ada menyentuh sesaji di batu tersebut?”
Aku terdiam. Aku ingat hari itu setelah mengantarkan Ratih anak bu RT pulang, tanpa sengaja aku terpeleset karena terjalnya jalan. Aku tak begitu menyadari bahwa bunga yang kupungut dan kukembalikan di atas batu adalah sesajan karena hari sudah gelap.
“Tapi saya nggak sengaja Mbah.”
Mbah Darmi tersenyum. “Bagi mereka, sengaja atau tidak itu adalah kesempatan untuk menjadikan kamu rumah barunya.”
“Sekarang dia ke mana Mbah?”
“Pergi, Mbah usir kembali ke tempatnya.”
“Jadi dia bisa ganggu saya lagi Mbah?” JaguarQQ
“Tenang aja, saya sudah lindungi kamu dan dia nggak akan berani mendekat.” Jelas Mbah Darmi.
“Terimakasih Mbah.”
Mbah Darmi tersenyum. “Ingat ya Nak Siska, kedepannya harus selalu hati-hati. Bila nanti tanpa sengaja Nak Siska menyentuh sesaji atau hal keramat lain, minta maaf dan segera doakan mereka tenang.”
Aku mengangguk paham. Aku menyadari telah lupa, bahwa yang hidup di dunia ini bukan hanya manusia, setidaknya ini menjadi pelajaranku untuk lebih hati-hati dengan tindakanku agar tidak merugikan makhluk apa pun.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar