2 Jun 2020

Suster Berbaju Merah

JaguarQQ

Sebelum benar-benar menjadi dokter, aku harus menjalani masa koas selama 2 - 3 tahun. Untung saja aku ditempatkan di rumah sakit yang terletak di tengah kota, jadi aku sudah familier dengan lingkungannya. Rumah sakit tempatku 'bekerja' ini juga terkenal di Kota Bandung, Jawa Barat sehingga kerap ramai pasien yang berobat. Bagiku, lebih baik aku bekerja di rumah sakit yang ramai pasien ketimbang hantu. Bicara soal hantu, aku adalah orang yang penakut. Banyak yang heran mengapa aku bisa menjadi dokter mengingat salah satu hal yang harus dihadapi dokter adalah mayat. 

Menurutku, hantu dan mayat adalah 2 hal berbeda. Mayat adalah manusia yang sudah tidak bernyawa. Aku masih bisa menyentuhnya dan tubuh itu juga tidak bisa menakutiku tiba-tiba. Berbeda dengan hantu yang bisa hilang dan muncul begitu saja. Hii, jangan sampai aku bertemu dengan para hantu. Aku tidak mau! Lebih baik bertemu seribu mayat ketimbang harus melihat 1 hantu. Ya, kan? bandarq online 

Hari ini adalah hari pertamaku mendapatkan tugas jaga malam. Menurut Dokter Herman, malam ini aku harus menjaga bagian bangsal dan sesekali ke IGD jika ada kondisi darurat. Untung aku tidak sendiri karena ada Riani yang juga berjaga malam ini. Tugasnya adalah menjaga area persalinan. Meski sudah terbagi, namun aku dan Riani sudah berjanji untuk saling membantu satu sama lain sehingga tidak terasa berat dalam menjalaninya.

Waktu menunjukkan pukul 22.00. Udara Bandung terasa dingin menusuk kulit. Perutku terasa lapar karena belum makan malam ini. Aku menghubungi Riani untuk menanyakan apakah ia sudah makan atau belum. Ia mengatakan bahwa dirinya juga belum sempat makan karena sedang banyak pasien yang ia tangani sedari tadi. Akhirnya, kami memutuskan untuk bergantian menjalankan tugas. Riani menyuruhku untuk pergi terlebih dahulu dan makan. Jika sudah selesai, Riani akan pergi makan sementara aku menjaga ketiga area tersebut. Bagian pertama yang aku tengok adalah area bangsal. Sebelum ke sana, aku berjalan ke ruang perawat terlebih dahulu untuk meminta data pasien di area bangsal. Hanya ada 3 suster tersisa di ruangan itu. Salah satu dari mereka sepertinya bersiap untuk pulang. Aku melangkah dan mendekati Suster Lisa.

Suster Lisa, hai. Tadi kata Riani data pasien di bangsal ada di Suster Lisa. Saya mau memeriksa area bangsal," kataku kepada suster Lisa yang sedang duduk.
Ia dengan sigap mengambil data dan berdiri di sampingku. Meski hanya koas, namun suster di sini memang tidak pernah melihat kami hanya sebagai mahasiswa. Banyak dari mereka justru yang mengajarkan kami tentang praktik sebenarnya di rumah sakit. Ya, kami terbilang akrab dan aku juga mengenal hampir seluruh suster di rumah sakit ini.

Saya sudah periksa semua. Hanya ada 2 pasien yang membutuhkan perhatian khusus, Ibu Norma dan Ibu Ratna. Ibu Norma sudah sangat pelupa, jadi terkadang suka bertindak di luar batas. Kalau Ibu Ratna harus minum obat setiap 6 jam sekali dan tadi terakhir saya kasih jam 8 malam," kata Suster Lisa.
Nanti siapa yang akan berjaga sampai pagi, Sus?" tanyaku.
Oh iya, saya belum mengenalkan suster baru. Kenalin, ini Suster Cantika," kata Suster Lisa.

Cantika berdiri dan kami berjabat tangan. Suster Lisa kemudian mengatakan bahwa ia akan segera pulang bersama dengan Suster Nadia yang sudah merapikan barang-barangnya. Keduanya berpamitan sekitar pukul 22.45. Aku meminta Suster Cantika berjaga di area IGD. Menurutnya, ada beberapa suster yang berjaga malam itu. Setiap lantai ada sekitar 2 suster yang berjaga. Jika ramai begini sih, aku tenang-tenang saja. 

Tidak terasa setengah jam berlalu dan Riani baru saja datang setelah membeli makanan. Kini, giliranku yang berjalan ke luar untuk membeli makanan. Aku cenderung makan cepat-cepat karena hari sudah semakin malam. Dalam waktu 20 menit aku sudah kembali ke rumah sakit. Aku berjalan ke area IGD dan kebetulan Riani berada di sana.

Pas banget kamu datang. Ada pasien dr. Arthur yang butuh bantuan. Tadi Cantika bilang ia berontak. Tapi ini ada yang kecelakaan
jadi boleh nggak kamu yang ke kamarnya? " kata Riani.

Setengah berlari, aku melangkahkan kaki ke lantai 2 tempat pasien dr. Arthur. Kamar Ibu Lastri adalah yang paling pojok sehingga aku perlu menyusuri lorong lantai 2 hingga ke sisi terujung. Aku masuk ke ruangan dan hanya ada Ibu Ratna berbaring di sana. Anehnya, ia sudah menatap tepat di mataku saat aku baru saja memasuki ruangan. Aku merasa wajahnya sedikit membuatku merasa tak nyaman. Buru-buru aku tepis perasaan takut dan segera mendekat untuk memeriksa keadaan pasien.
Hai, Ibu. Gimana sekarang kondisinya? Sudah membaik?" tanyaku yang berusaha mengalihkan pandangan dari matanya.
Sungguh, matanya sedikit melotot dan mengerikan. Sebenarnya, aku selalu berusaha untuk tidak merasa takut dengan pasienku. Namun, dokter juga manusia yang bisa memiliki rasa takut, apalagi aku baru koas. Ibu Ratna tidak bergeming dan hanya memandangku terus-menerus.
Aaaa...aaa ," tiba-tiba Ibu Ratna mengeluarkan suara seperti mengeram mengerikan. Aku memandangnya heran dan membelai pundaknya untuk memberikan rasa tenang meski aku juga merasa tegang.
Ada apa, Bu? " aku bertanya dan sedikit mendekatkan diri ke Ibu Ratna. Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka dan aku menoleh.
Seorang suster dengan wajah asing masuk ke ruangan membawa tensimeter. Aku sedikit lega dengan kehadirannya meski Ibu Ratna semakin terlihat mengerikan. Dengan sigap, aku memeriksa tekanan darah Ibu Ratna. Hasilnya cukup tinggi untuk usianya, 130/90. Aku menyampaikan pada suster mengenai hasilnya dan suster itu tidak bergeming. Aneh.


Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Suster asing ini berbaju merah, warna yang tidak sesuai dengan seragam suster di rumah sakit tempatku bekerja. Aku memalingkan wajah karena sedikit ketakutan. Suster mendekat dengan cara jalan patah-patah yang tidak biasa. Aku was-was dan menundukkan kepala. Badannya semakin dekat dan ia sepertinya menundukkan badannya sehingga condong tepat di atasku. Aku melihat kakinya yang ternyata tidak bersepatu dengan kuku berwarna biru kehitaman. Lebih menyeramkan, kaki yang kini berada sangat dekat denganku itu tidak menapak alias melayang sekitar 2 cm dari lantai. Air mataku sontak keluar menetes. Ibu Ratna juga mengeluarkan suara aneh dari mulutnya seperti dengkuran panjang. Tidak lama, tangan Ibu Ratna tiba-tiba meraihku, membuatku melompat kaget dan spontan melihat ke kiri, tempat suster mengerikan tadi berdiri. Ia menghilang. Aku dengan cepat menengok Ibu Ratna namun wajahnya justru sangat menyeramkan. Ia menyeringai dengan mata melotot sambil mengangkat kepalanya sehingga berjarak dari bantal namun tetap menghadapku. Aku memekik kaget karena genggamannya juga semakin kuat. Aku berusaha setengah mati untuk tidak berteriak dan mencoba melepas cengkramannya. Tak lama tangan itu terlepas dari tanganku. Aku langsung undur diri dari ruangan, berusaha untuk tenang.

Tepat di depan kamar Ibu Ratna, aku masih mengatur napas dan mulai memikirkan langkah yang harus kuambil. Jika aku bercerita, nanti mereka bilang aku penakut dan parno. Namun jujur, aku juga merasa takut untuk mengurus Ibu Ratna saat ini. Aku memutuskan mengambil ponsel dan mengirim pesan singkat ke Riani.
Riani, apa kamu sudah selesai? Aku sepertinya butuh sedikit bantuan.

Kenapa? Coba kamu lihat di tempat jaga suster. Seharusnya ada yang berjaga dan bisa membantumu sementara. Aku dan Cantika sedang menangani pasien yang butuh dijahit karena kecelakaan.
Ah, iya! Aku baru ingat jika di setiap lantai ada 2 suster yang berjaga. Aku menjadi lebih lega dan siap melangkah ke meja suster. Baru saja mengambil 2 langkah, aku melihat suster berbaju merah di ujung lorong, menatapku dingin dengan senyuman tak hangat. Aku bergidik ngeri dan tidak percaya sehingga langkahku mundur. Namun setiap satu langkah yang kuambil, suster berbaju merah itu juga melangkah dengan jumlah yang sama. Aku kembali melangkah mundur sehingga posisiku berada di depan kamar Ibu Ratna. Aku melirik ke dalam kamar Ibu Ratna namun ia masih tidak berubah, menatapku dengan menyeringai sambil mengankat kepalanya. Aku kembali melihat ke depan namun tidak mendapati lagi suster berbaju merah itu. Lega rasanya.

Langkahku seperti diburu karena ingin segera bertemu dengan suster yang mungkin bisa menemaniku. Aku melihat meja suster dan seseorang sedang duduk di sana. Meja yang tinggi membuatku hanya melihat ubun-ubunnya saja.
Suster, saya ingin melihat..." suaraku tercekat ketika melihat suster yang duduk itu sedang menangis lirih.

Ketakutan kutepis dengan rasa iba karena tangisnya sangat menyayat. Bahunya naik turun, seperti ia berusaha mengatur napasnya sendiri yang tersengal-sengal. 
Sus, maaf. Ada masalah apa?" Aku berjalan mendekat dan duduk di bangku tepat di samping suster itu.
Ia menangis semakin kencang hingga gaungnya mulai sedikit mengganggu kenyamanan. Aku khawatir tangisnya mengusik para pasien yang beristirahat. Mataku mulai mencari segelas air untuk menenangkannya. Aku putuskan berdiri mengambil air yang tidak jauh dari tempatku berdiri. Baru saja aku hendak membalikkan tubuh namun suster tadi justru tertawa-tawa kecil. Aku segera membalikkan badan karena heran dan melihat suster itu menatapku aneh sambil tertawa. Dahiku mengernyit.  JaguarQQ 

Suster kenapa?" Tanyaku khawatir.
Tangisnya berubah menjadi tawa, kemudian tangannya mulai memukul-mukul meja. Awalnya pelan dengan tempo lambat, namun kian lama pukulannya semakin kencang dan temponya lebih cepat. Aku tidak bisa berkata-kata selagi ia menggumamkan sesuatu.
Bantu...cari...bantu...cari ," ucapnya lirih sambil menggerakkan tubuhnya seperti gelisah. Tiba-tiba ia menatapku dengan wajah sangat mengerikan. Warna mukanya biru menghitam, matanya melotot ngeri, mulutnya terbuka seraya meneriakkan, "
Aku berteriak dan langsung menjatuhkan diri sambil menangis. Anehnya, meski teriakanku sangat kencang, tidak ada orang yang muncul. Aku meringkuk menangis sementara sosok suster tadi menghilang. Aku terus membaca semua doa yang aku tahu.

Entah pemikiran dari mana, aku seperti memiliki keberanian untuk bangun. Aku merasa harus mencari dan membantu. "Sebaiknya kamu cari bantuan," aku bermonolog dalam hati. Aku ke bawah menemui satpam jaga dan mengatakan bahwa ada sesuatu yang buruk.
"Ada apa, Bu Dokter?" Ia bertanya.
Aku bertanya apakah ada suster mencurigakan belakangan ini. Satpam bernama Pak Marto itu bingung dengan pertanyaanku. Tiba-tiba aku melihat sekelebat bayangan ke arah kamar mayat. Aku meminta satpam menemaniku ke sana.
Bau darah tercium anyir oleh indra penciuman. Satpam itu kemudian membuka ruangan yang diduga menjadi sumber bau dan menemukan suster tergantung di sana. Aku tercekat melihat bentuknya. Wajahnya biru legam, darah membasahi baju suster itu sehingga seperti berwarna merah. Lebih mengagetkan, aku mengenalnya. Ia adalah Suster Lisa yang mati secara mengenaskan.

JaguarQQ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar