
Ah, sial! Malam ini aku harus lembur karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan. Sudah pukul 21.00, hanya tinggal aku dan Ibu Farida yang tertinggal di sana. Ibu Farida ada di sana hanya karena menunggu anaknya menjemput, sementara aku masih berkutat dengan pekerjaan yang harus selesai malam ini. Laporan ini tidak bisa aku bawa pulang karena data tidak boleh dipindahkan dari komputer kantor. Ah, coba saja aku tidak mengajukan cuti beberapa waktu lalu, pasti aku bisa mencicil laporan ini.
Aku mengintip Ibu Farida yang berjarak kurang lebih 5 meter di belakangku. Ia sibuk dengan ponselnya yang bersuara. Sepertinya ia hanya melihat Insta Story sehingga yang terdengar seperti bunyi video namun berubah-ubah sesekali.
"Anak Ibu belum sampai?" tanyaku basa-basi.
"Belum, nih," jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
"Saya mau beli nasi goreng di bawah. Ibu mau?" bandarq online
Ibu Farida menatapku seraya menggelengkan kepalanya, tanda ia menolak tawaranku. Aku kemudian beranjak dari tempat duduk setelah menyimpan pekerjaanku yang baru selesai setengahnya. Aku menekan tombol lift dan masuk setelah pintunya terbuka. Kasihan juga Ibu Farida. Ia rela menunggu hingga larut karena anaknya belum menjemput. Ia memang sengaja tidak pulang sendiri karena rumahnya sangat jauh. Katanya, fisiknya sudah lelah jika harus berdesakkan naik kereta. Ibu Farida adalah seorang resepsionis kantor yang sudah puluhan tahun bekerja di sana. Penghasilannya tidak terlalu besar, sehingga wajar jika ia memilih menunggu anaknya ketimbang naik taksi online yang harganya selangit bila mengantarnya ke rumah.
"Nasi goreng satu, ya. Bikin pedas banget," aku memesannya sambil duduk di kursi panjang dekat warung.
Kuambil rokok dari saku celana dan menyulut api, menghisapnya pelan dan menghembuskannya kuat-kuat, seolah ingin menghembuskan rasa lelah keluar bersama asap rokok.
"Lembur, Mas?" penjaga warung membuka obrolan.
"Iya, nih. Sendirian pula," aku menjawabnya singkat.
"Nggak takut memangnya, Mas? Saya saja malas buka warung kalau sudah di atas jam 22.00," katanya sambil ikut merokok.
"Takut apa? Setan?" ia mengangguk sambil menatapku. "Kalau dia muncul, saya minta bantu selesaikan pekerjaan saya, deh," aku berkelakar sementara penjaga warung hanya tersenyum kecut.
"Mas nggak tahu cerita seram di gedung ini, ya?" tanya penjaga warung. Aku menggeleng heran.
"Banyak, Mas. Di pohon situ saja ada. Katanya pernah ada yang bunuh diri!"
"Hey, wis wis ojo medeni uwong. Mangan sik, Mas (jangan takut-takutin orang. Makan dulu, Mas)" tukang nasi goreng mengagetkanku.
"Mas, sama tukang nasi goreng saja takut, gimana sama yang di situ," sambil menujuk gedung dan tertawa.
Suasana kembali cair. Sepanjang makan, aku hanya memikirkan pekerjaan dan melupakan ketakutan yang diciptakan penjaga warung. Kenikmatan nasi goreng ini sepertinya membantuku untuk kembali menggunakan logika ketimbang larut dalam ketakutan. Usai makan, aku langsung membayar nasi goreng dan bergegas ke lantai 4 untuk menyelesaikan pekerjaan.
Ting!
Pintu lift terbuka di lantai 4. Aku melangkahkan kaki ke arah mejaku. Sepi sekali rasanya. Hanya ada suara sol pantofelku yang beradu dengan lantai. Meja Ibu Farida kosong, namun masih melihat tas kecil di atas mejanya. Saat aku membalikkan badan untuk menghadap ke komputerku, sosok Ibu Farida muncul dengan wajah yang terlihat lelah.
"Astagfirullahaladzim, Ibu. Bikin kaget saja. Saya kira Ibu sudah pulang," kataku sambil mengelus dada.
Ibu Farida hanya senyum dan berlalu ke mejanya. Aku sedikit lega karena ternyata ia belum pulang. Aku kembali mengetik laporan untuk segera menyelesaikan. Pikiranku langsung fokus pada pekerjaan hingga tiba-tiba saja aku mendengar suara orang mengetik dari arah belakang. Bukankah Ibu Farida hanya menunggu anaknya saja? Batinku bertanya.
"Ada kerjaan, Bu?" tanyaku tanpa menoleh.
Aneh, mengapa Ibu Farida diam saja? Aku menoleh ke belakang dan melihat sosoknya di balik layar komputer. Mungkin sedang sibuk dan tidak sadar bahwa aku mengajaknya bicara. Aku menyerengitkan dahi kemudian kembali menatap layar dan mengerjakan laporan.
Sebentar lagi
. Semangatku dalam diri. Sudah pukul 22.15 dan pekerjaanku sudah rampung sekitar 80%. Sayangnya, mataku juga mulai tidak bisa diajak kompromi. Ini pasti karena semalam aku tidur larut. Memiliki bayi berusia 4 bulan memang membuatku harus bergantian menjaganya di kala malam. Alhasil, aku hanya memiliki waktu tidur sekitar 3 jam. Tidak heran jika malam ini rasa kantuk menyeret kelopak mataku untuk terpejam.
Aku bangkit dari tempat duduk kemudian berjalan menuju pantry yang jaraknya tidak jauh. Sesaat ketika menyeduh kopi, aku mendengar dentingan sendok dan gelas dari arah luar. Jelas suara itu bukan hadir dari cangkirku. Apakah Ibu Farida sedang membuat kopi juga? Aku menyeruput kemudian keluar ruangan untuk mencari sumber suara. Sepi, tidak ada siapa-siapa.
Brak!
Suara pintu kamar mandi perempuan mengagetkanku. Ibu Farida keluar dari sana tanpa menatapku. Sepertinya ia habis menangis. Aku tidak menyapanya, hanya tersenyum canggung. Ia kembali ke mejanya, diikuti olehku yang melangkah kikuk. Baru saja aku menghenyakkan diri di kursi, aku mendengar tangisan tertahan dari Ibu Farida. Sangat mengharukan dan menyayat, sehingga aku tidak berani menoleh ke arahnya. Aku tidak mau menyentuh ruang privasinya dan memutuskan untuk kembali bekerja.
Ting
Ponselku menunjukkan pop up message dari aplikasi WhatsApp. Aku menatap heran. Mengapa Ibu Farida mengirimkan pesan untukku? Aku segera membukanya dan terperangah tak percaya.
Nak Anton, bisa tolong lihat ke meja saya? Sepertinya clutch saya tertinggal di atas meja. Jika ada, tolong simpan di laci paling atas meja saya, ya. Terima kasih, Nak. Kamu jangan lembur kemalaman. Kalau memang sampai jam 10 belum selesai, lanjut besok pagi aja.
Jantungku rasanya berdegup tak karuan. Kalau memang Ibu Farida sudah pulang, lalu siapa yang tengah menangis di mejanya? Pikiranku buyar seketika saat suara jari yang beradu dengan keyboard
komputer kembali terdengar. Bukan seperti sedang mengetik, melainkan mengeja karena hanya terdengar satu-satu. Aku mengatur napasku yang sedikit tersengal karena rasa takut. Aku tarik napas panjang kemudian menghembuskannya.
Ok, dalam hitungan ketiga, aku akan menoleh. Satu...Dua..
Belum selesai hitunganku, suara ketikan menjadi sangat cepat dan keras. Seperti orang yang sedang marah. Aku bangkit dari kursiku dan masuk ke pantry.
Aku panik dan bingung harus berbuat apa. Pekerjaanku tinggal sedikit lagi tapi keanehan justru terjadi di kantor ini.
Tenang, manusia lebih tinggi derajatnya daripada setan . Semangatku dalam hati. Aku sudah tidak mendengar adanya suara dari arah luar . Mungkin setan itu telah menyelesaikan pekerjaannya, batinku melontarkan suara sekenanya. Jika dia saja sudah selesai, maka aku harus segera menyelesaikannya.
Aku keluar dan mendapati ruangan yang kosong. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada suara. Tapi mengapa rasanya jadi lebih mencekam, ya. Aku tidak mau ambil pusing. Kulangkahkan kaki mantap ke arah mejaku dan kembali mengerjakan laporan. Kali ini, aku sisipkan earphone di telinga. Setidaknya, aku tidak akan terganggu dengan suara-suara menyebalkan yang mungkin saja kembali muncul.
Lantunan lagu Sisitipsi berjudul " Alkohol" menggema di telingaku. Liriknya yang jenaka bisa membuatku lebih rileks sedikit. Pekerjaanku benar-benar hampir selesai. Aku hanya tinggal memeriksa ulang sebelum menyimpannya ke server
. Tiba-tiba saja aku merasa ada orang di belakangku, berjarak sangat dekat dengan punggungku. Aku enggan menoleh dan memutuskan segera menyimpan semua laporan ini tanpa memeriksanya. Jam di layar komputer menunjukkan pukul 22.50.
Selesai. Aku mematikan komputer namun tidak melepas earphone . Semua barang langsung kubereskan dengan perasaan yang masih tidak enak. Sayup namun jelas, aku mendengar lagi suara tangisan tadi dengan jarak yang sangat dekat denganku. Sepertinya, ia menangis tepat di belakangku.
Kalau kita berani, dia pasti takut . Rapalku dalam hati. Dengan cepat aku langsung menoleh ke belakang dan berharap ia menghilang. Sayang, dugaanku salah!
Aku melihat seorang nenek dengan wajah yang sangat berkerut. Kantung matanya menggelayut kendur memerah dengan mata yang tak kalah merah. Bibirnya mengerut ke dalam mulutnya seperti tidak memiliki gigi. Ia menangis tertahan melihatku dengan mata yang membelalak. Aku terperenjat hingga terjatuh ke belakang. Ia mendekat dengan jalan perlahan. Bajunya kebaya namun berantakan dan lusuh. Aku berusaha melangkah, namun lututku terlalu lemas untuk bergerak. Aku pejamkan mata dan sangat merasa takut.
Astagfirullahaladzim..Astagfirullahaladzim
Teriakku dalam hati hingga merasa tenang. Aku membuka mata perlahan. Nenek itu sudah menghilang, aku bangkit dan lari menuju lift . Entah mengapa lift tidak kunjung datang, dan suara tangisan dicampur tawa malah terdengar kembali. Tanpa pikir panjang, aku lari menggunakan tangga darurat.
Hanya 4 lantai, batinku.Aku lari tunggang langgang hingga tiba di lantai 1. Aku buka pintu tangga darurat dan sangat terkejut karena ini masih di lantai 4.
Tidak, tidak mungkin! Aku pasti hanya mimpi buruk! Aku masuk kembali dan berlari ke bawah. Lagi-lagi aku masih di lantai 4.
Lelah sekali rasanya. Aku memutuskan menenangkan diri dengan duduk di anak tangga, mengatur napasku yang tersengal.
Jika saja aku berhenti merokok, pasti tidak mudah lelah seperti saat ini . Aku meracau dalam hati. Merasa kesal karena harus terjebak dalam situasi seperti ini. Kulihat ponselku berharap bisa menghubungi seseorang. Sialan, baterainya habis! Aku sangat panik dan tidak tahu harus berbuat apa.
Klek, klek, klek.
Seseorang terdengar tengah menaiki tangga. Aku yakin suaranya dari bawah dan ia sedang menuju ke atas. Mungkin saja itu adalah
yang sedang jaga. Alhamdulillah.
"Paaaak!"
Teriakku sambil mengintip ke bawah. Aneh, tidak ada siapa-siapa meski suara langkah menaiki anak tangga terdengar jelas.
Tang!
Tiba-tiba saja suara tongkat yang dipukulkan ke pegangan tangga terdengar jelas dan nyaring. Aku tersentak dan segera melihat ke atas. Sumber suara seperti datang dari atas. Berkali-kali suara itu menggema dan siapapun yang melakukannya tengah menuju ke bawah. Aku lari ke bawah mencari security
. Satu lantai, dua lantai, aku masih belum menemukannya. Aku mengintip ke bawah dan terlihat jaraknya masih sama saja seperti sebelumnya. Hingga kulihat sebuah tangan keriput dan kotor menggenggam pegangan tangga di bawah. Aku menghentikan langkah dengan keringat bercucuran dan napas yang tersengal- sengal.
"Tunggu Nenek, Cu Tunggu Nenek."
Suara parau dari arah bawah terdengar menggema di ruang tangga darurat. Aku terperangah, bulu kudukku meremang, bahkan aku yang jarang menangis ini mulai merasakan air menggenang di pelupuk mataku. Aku hampir kehabisan akal tapi tiba-tiba terpikir untuk keluar dari ruang tangga darurat, kembali ke tempatku bekerja.
Aku membuka pintu dan mendapati ruangan kosong. Sejenak aku merasa tenang dan segera melangkah ke telepon di dekat mejaku. 102, nomor ekstensi pos security
langsung aku tekan. Ah, tidak ada yang mengangkat. Kembali kutekan nomor ekstensi tersebut. Klik . Ada suara telepon di angkat.
"Hallo, Pak. Tolong ke lantai 4," kataku dengan cepat.
Dari ujung telepon aku malah mendengar suara napas seseorang. Serak namun seperti ingin mengatakan sesuatu. Aku tekan telinga ke gagang telepon untuk mendengarkan secara saksama.
TUNGGU NENEK, CU
Suara parau dan serak berteriak mengagetkanku. Aku langsung membanting gagang telepon dan berjalan mundur. Sungguh, tidak tahan. Aku menangis dan frustasi. Kubenamkan kepala di antara tanganku yang melipat di atas meja. Napasku tersengal sambil menangis. Tiba-tiba saja ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku terkejut dan langsung menoleh. JaguarQQ
"Mas Anton, Subuh begini kenapa masih di sini?" Pak Pardi menempukku berkali-kali dengan wajah heran
Rasanya lega sekali melihat wajahnya, walaupun aku cukup terkejut menyadari bahwa hari sudah pagi. Tanpa sadar aku langsung merangkulnya dan berterima kasih. Ia menemaniku turun menggunakan elevator
Aku menceritakan semuanya sambil menyandarkan tubuhku di sisi elevator. Menurut Pak Pardi, kejadian seperti ini bukan hanya satu kali terjadi. Ia menyarankan untuk tidak di kantor jika sudah berada di atas jam 22.00.
Di perjalanan pulang, aku akan selalu mengingat kejadian malam ini dan tidak akan mau lembur lagi di atas jam 22.00.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar