
Duh, sudah pukul 22.47. Harusnya kedai sudah bisa rapi di jam ini. Sayang, muda-mudi di meja 3 tak henti-hentinya bermain poker sambil tertawa terbahak-bahak. Padahal untuk menyindir mereka, saya sudah mengangkat sebagian kursi dan menyalakan lagu cukup keras. Rupanya kebersamaan mereka membuat waktu tak menjadi pembatas.
Saya bekerja di salah satu kedai kopi di bilangan Jakarta Selatan. Kedai ini berada di komplek ruko yang sepi. Katanya, komplek ini sedikit menyeramkan namun si pemilik kedai tidak percaya dengan hal-hal mistis.
Arsitektur kedai ini sangat menarik bagiku. Perpaduan antara bahan besi hitam dengan kayu, membuat desain menjadi kekinian. Sebagai pemanis keseluruhan, kedai ini juga dihiasi oleh kaca jendela besar di seluruh sisi sehingga tampak luas. bandarq online
Saya baru bekerja di sini kurang lebih 1.5 bulan. Hingga 3 bulan pertama, saya pasti harus menjaga kedai hingga tutup. Kata senior, begitu peraturannya di sini. Entah benar, atau justru karangannya saja. Saya tidak peduli, yang penting saat ini saya ingin sekali segera bertemu dengan kasur di kosan!
"Mbak, udah mau tutup, ya?" tanya salah seorang dari mereka. Badannya tinggi dan besar. Telinganya di piercing, menggunakan topi sepeda, dan badannya bertato.
"Iya mas, jadwal tutupnya jam sepuluh malam," jawab saya dengan nada berusaha ramah.
"Sorry Mbak, tanggung abis 1 game ini selesai, ya. Sebentar lagi, kok," jawab seorang perempuan berpakaian serba hitam dengan potongan rambut bob pendek yang membelakangi saya.
Saya pasrah sambil mengiyakan terpaksa. Untuk membunuh waktu, saya keluar kedai kemudian menyalakan rokok. Vijay, penjaga keamanan di area kedai, melintas di depan saya sambil mengendarai sepedanya.
"Jay!" saya meneriakkan namanya namun ia tetap melaju.
Biasanya memang begitu dia kalau kedai saya belum tutup. Yah, mau bagaimana lagi? Sembari mengepul asap, saya melamun. Kapan saya punya kedai sendiri, ya? Usia sudah hampir kepala 3, namun saya masih saja bekerja di kedai orang. Saya ingat, dulu ingin sekali membuka kedai kopi di usia 28 tahun bersama beberapa orang teman. Sayang, rencana kini hanya menjadi wacana.
Eh, sepertinya ada orang di dekat pos jaga. Iya, ada yang berdiri mengenakan kaus lengan panjang, kepalanya tak berambut, lehernya miring seperti sedang memperhatikan sesuatu. Tubuhnya menghadap ke saya. Siapa, sih? Saya tidak bisa melihat wajahnya. Awalnya saya bersikap bodo amat, tapi rasa takut justru muncul, lamat-lamat.
Saya bergegas mematikan rokok yang belum habis dan memutuskan untuk masuk. Setelah menutup pintu yang terbuat dari kaca, saya masih memandang ke arah pria misterius itu. Ia masih melihat ke arah saya. Tiba-tiba saja.....
"Hai Mbak, kita pulang, ya. Sorry lho, jadi malam banget baliknya. Thank you, ya," pria tinggi besar tadi benar-benar berhasil memindahkan jantung saya ke yang bukan tempatnya. Kaget setengah mati.
Saya melempar senyum kepada mereka seiring langkah mereka yang kian berjarak dengan pintu masuk kedai. Saya kembali melihat ke arah pria misterius tadi namun ia sudah beranjak. Dahi saya mengernyit. Entah mengapa, peristiwa itu sedikit mengusik ketenangan.
Sudahlah, daripada memikirkan hal tersebut, saya sebaiknya bergegas kemudian berkemas dan pulang ke rumah. Saya berjalan menuju meja terakhir yang masih berantakan. Saya membereskannya, mulai dari gelas, piring, hingga kentang goreng yang berjatuhan di area meja.
"Huh, sudah membuat saya pulang larut, mereka juga sangat merepotkan. Berantakan!"
Gerutu saya dalam hati sembari membereskan meja 3. Saya membawa gelas dan piring dengan nampan menuju bagian dapur untuk dicuci. Usai mencuci, saya kembali lagi ke meja 3 untuk lap permukaan. Namun saat saya ada di area dining, saya jelas melihat sosok tak berambut dengan kepala miring tersebut melihat ke saya dari balik jendela. Saya tersentak kaget dan terpaku. Wajahnya gelap, seluruh tubuhnya gelap. Saya baru melihat jelas bahwa iya mengenakan kaus turtle neck berwarna hitam dan celana panjang dengan warna senada. Wajahnya legam namun rata. Saya terdiam sambil melotot kaget dan tiba-tiba sosok itu melambaikan tangannya. Saya lari masuk kembali ke dapur dan mengunci pintu.
Saya sadar kalau pintu depan kedai belum saya tutup. Jantung saya berdegup cepat sekali dengan napas tersengal-sengal. Ingin rasanya menghubungi seseorang namun ponsel tertinggal di dekat meja kasir. Saya jadi berpikir, jangan-jangan sosok tadi adalah maling.
Saya melihat ke sekeliling dapur, kemudian mengambil pisau daging berukuran besar. Doa tak henti saya panjatkan sambil mengumpulkan segala keberanian. Saya tarik napas panjang dan menghembuskan lewat mulut, kemudian saya membuka pintu dapur.
Hening...tak ada suara. Sosok tadi juga sudah tiada. Saya turunkan tangan kanan yang memegang pisau. Mata saya menyapu sekeliling sementara kaki berjalan ke arah meja 3. Saya harus bergegas! Tangan segera mengelap meja seadanya sambil mata terus mengawasi area kedai. Bangku segera saya angkat ke atas meja. Done!
Saya segera melepas apron, mengambil tas dan ponsel. Saat sedang bersiap siap itulah saya mendengar suara langkah di dapur. Napas rasanya semakin berat, namun saya juga bertanggung jawab pada kedai ini. Pisau yang sedari tadi tak pernah jauh dari saya, kembali pada posisi siaga di tangan kanan. Saya melangkah masuk ke dapur dan.... sosok tadi ada di dalamnya!
"Siapa kamu?! KELUAR!" saya beranikan diri untuk menereaki sosok itu.
Ia diam tak bergeming dengan kepalanya yang miring namun kali ini membelakangi saya. Napasku mulai memburu. Kemudian dengan tiba-tiba, sosok itu menengadahkan kepala dengan bunyi tulang yang patah lalu seperti ingin menjatuhkan tubuhnya ke belakang. Ia mengeluarkan suara lengkingan tinggi, seperti orang yang sedang sekarat. Sungguh mengerikan! Saya teriak dan segera lari ke luar kedai.
Saya menuju motor dengan terburu-buru hingga saya menyadari jika kuncinya masih ada di laci. Ah, sialan! Semua kunci mulai dari kunci motor, kamar kos, hingga pintu cafe masih ada di dalam! Saya mulai menangis dan merasa panik luar biasa.
Sambil mengatur napas, saya mulai menghubungi Alda, salah satu rekan kerja di kedai.
"Hallo... Alda please tolongin gue! Lo ke cafe sekarang please," saya memohon sambil menangis.
Ok ok gue ke sana. tenang dulu , ya ," Alda menjawab di seberang telepon.
Mata saya tetap melihat ke arah dalam kedai. Bagaimanapun juga jika mahluk tadi adalah maling, saya pasti diminta bertanggung jawab jika ada kerusakan atau kehilangan di cafe. Walau logika dan hati saya menangkal jika mahluk tadi adalah manusia.
Tiba-tiba saja saya melihat Vijay melintas dengan sepedanya. Segera saya berteriak sekuat tenaga dan untungnya kali ini ia mendengar. Saya segera menceritakan sekilas dan memintanya menemani ke dalam kedai. Meski ia bingung, namun Vijay tetap menemani.
Setelah mengambil kunci, saya segera mengunci kedai dengan segera. Saya coba menghubungi Alda namun ia tidak mengangkatnya.
"Alda, ada Vijay yang nolongin gue. Lo nggak usah ke sini nggak apa apa kok. Sorry banget and thank you ya." Saya mengetik via WhatsApp.
Saya pun meminta Vijay mengantar ke kosan. Ia mau meski dengan syarat memberinya uang untuk pulang dari kosan serta uang rokok. Saya mengiyakan segera. Saat duduk di bangku belakang motor, saya kembali melihat ke dalam kedai.
Dan.. sekali lagi, saya melihat sosok kurus itu, dengan kepalanya yang miring, melambaikan tangan di balik jendela. Saya alihkan pandangan dengan segera.
Keesokan harinya, saya terbangun dan mendapatkan banyak sekali pesan di WhatsApp, salah satunya dari pemilik cafe. Betapa kagetnya saya ketika membaca pesannya.
Innalillahi wa innaillaihi rajiun Telah berpulang Alda Naufal Prawira dini hari tadi pukul 00.20. Semoga Alda mendapatkan tempat peristirahatan yang terbaik dan yang ditinggalkan diberi ketabahan JaguarQQ
dan katanya, Alda meninggal dengan kondisi patah di bagian leher saat mengenakan kaus lengan panjang hitam. Ia meninggal di perjalanan menuju kedai. Sepertinya, sosok tersebut adalah qarin Alda yang memberi tahu pada saya bahwa Alda pamit malam itu.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar