
Ada batas antara cinta dan dunia kita. Tapi yakinlah, kelak jodoh akan tetap menakdirkan kita untuk bersama.
Di mana pun dan kapan pun nanti, biar waktu yang mengaturnya untuk kita.
Takdir macam apa ini? Mencampakkan hati yang tengah saling mengasihi. Menghilangkan kesempatan untuk mengarungi hidup bersama dengan idaman hati. Lalu, takdir memaksamu pergi.
Ah, bolehkah aku menyusulmu? Menyatukan cinta yang harus terpisah. Membuktikan bahwa ada kata setia dalam rasa cinta. Tuhan boleh memisahkan kita, namun seharusnya Tuhan tahu tak ada alat ukur untuk mengukur rasaku untukmu.
Perbolehkan aku melakukan orasi. Memprotes takdir tentang hidup tak adil ini. Ayolah, bahkan aku enggan bernafas tanpa menghirup aroma kekhasan tubuhmu yang wangi. Aku rindu mata cemburu yang mengintimidasi. Juga rindu akan cumbu dalam habiskan malam dengan peluh yang membanjiri.
Ah, aku tak sanggup. Malam ini, kaki mengajakku mengunjungi komplek perumahan yang cukup padat. Di sanalah pula, si idaman hati dibesarkan. Evelyn, gadis yang telah menawanku dalam kesucian cintanya. Cinta pertama, cinta monyet, cinta mati, cinta sejati, dan entah cinta apalagi tentang kita berdua. bandarq online
Di sinilah aku berdiri, tepat di samping pohon kakiku berhenti. Seketika panas langsung terasa di mata, merembeslah embunnya melalui celah dan membelah pipi. Cukup sakit, namun tak sampai menguatkan suara isakku ini.
Garis polisi masih memagari si komplek yang kini menghitam. Seperti arang yang kini disisakan. Menelan habis hanya dalam waktu semalam. Tanpa permisi, tanpa toleransi, bahkan tangis pun tak mampu menghentikan.
Cukup lama mataku menelisik, juga berusaha mengingat malam itu sebelum semuanya terjadi. Aku tak kuasa, kutundukkan wajah yang kini berderai airmata.
"Evelyn ...." Jelas disela isakku kusebut namamu.
Malam ini, udara cukup dingin. Hal yang berbanding terbalik dengan minggu lalu. Kini cukup dingin hingga mampu mendirikan bulu kuduk. Lalu bau daging terbakar memenuhi alat pernafasan. Cukup kuat hingga membuat si hidung memanas, dan sesekali ingin terbatuk.
Aku menggeleng tak kuat. Tapi aroma kekhasan yang amat kukenali, kini mendominasi. Wangi tubuh yang sangat kurindui, bau yang selalu menjadi canduku kala kita beradu nafsu.
Kutegakkan kepala, lalu kutatap nanar gadis yang berdiri tepat di sebelah. Gadis cantik itu tersenyum, matanya sendu. Entah apa yang ingin dia sampaikan padaku.
Tanpa bahasa verbal, seolah hanya dengan sorot mata kami saling berbagi cerita. Lama, hening menaungi suasana diantara aku dan dia. Sedang aku semakin tak kuasa menahan bocornya mata.
"Aku rindu kamu. Perbolehkan aku ikut denganmu." Dengan senyumnya ia menggeleng pelan.
"Aku cinta kamu. Aku sudah terlanjur berjanji akan selalu menemanimu ...." Kembali dengan senyumnya ia menggeleng pelan.
Aku teriak, melampiaskan derita dengan memukuli si pohon tak bersalah. Lalu si gadis itu pergi entah ke mana, hanya suaranya pelan yang bisa kutangkap.
"Aku juga sayang kamu." Lalu semuanya hilang, seraya dibawa hembusan angin malam.
Masih kuingat jelas, bagaimana setiap waktu yang telah kita taklukkan dulu. Perjuangan demi peroleh restu ayah ibumu. Bertahun-tahun, ah bukan, bahkan mencapai lebih dari sepuluh tahun. Lalu, saat kubisa meraihmu, Tuhan memaksamu meninggalkanku.
Kuingat jelas, seminggu sebelum semuanya terjadi. Kita habiskan malam bersama untuk yang pertama kalinya. Sebagai penghargaan atas keberhasilan kita meluluhkan hati meraka.
Ah, bahkan mengingatnya saja membuat anganku kembali melayang. Merasakan apa yang kita rasakan bersama. Mencium wangi aroma tubuhmu, saling menangkap nafas kala kita beradu nafsu. Bahkan hangat cumbumu masih terngiang selalu.
Ragu kau menciumku, ragu pula untuk membelaiku. Kau boleh salahkanku atas kemenanganku malam itu. Membuka tali yang selama ini sama-sama kita jaga, perawan dan perjaka. Merah di ranjang yang jadi buktinya. Ah, entah aku harus senang atau sedih melihatnya.
Bahkan batinku teriris, kala pagi kau jalan tertatih. Kau juga sempat merintih, rasakan bagian tubuhmu yang teramat perih. Rela kuhabiskan waktu itu hanya untuk menemanimu, menenangkanmu, juga kembali bercumbu.
Hal yang paling kuingat waktu itu, kala kukecup keningmu. Lalu mengusap pelan rambut hitam itu. "Tenang sayang, aku janji akan selalu bersamamu. Tak akan meninggalkanmu. Akan kuusahakan minggu depan melamarmu."
Kau tersenyum, lalu anggukan kecil mengiringi cumbumu kembali. Entah sudah berapa kali kita lalukan itu. Lagi dan lagi seolah telah menjadi candu. Seolah tiada kembali waktu yang akan kita jalani bersama lagi. Dan untuk pertama kalinya aku merasa bangga, kala kulihat barisan tanda cinta di tubuhmu menyebar di mana-mana.
Anganku kini terasa terpelanting. Karena apa? Waktu tak berpihak padaku. Seharusnya hari esok adalah hari dimana kubawa orangtuaku ke rumahmu. Meminta kau untuk menemaniku seumur hidupmu, sebagai pendamping hidupku. Istriku.
Tapi kini apa? Tuhan telah lebih dulu manggilmu. Dalam lautan api yang menjilat habis seluruh rumah serta keluargamu. Juga menjalar ke pemukiman padat di sekitar rumahmu.
Semuanya terkunci di sana. Karena api begitu gilanya mengoyak kala pagi masih enggan menyapa. Dan parahnya, keluargamu terjebak si jago merah tanpa memberi jalan untuk selamatkan nyawa.
Ah, aku kembali tak kuasa. Entah sampai kapan mataku habis keluarkan isinya. Memori memaksaku kembali untuk menyelami kejadian tiga hari lalu.
Untuk yang kedua kalinya kita saling beradu nafsu. Bahkan dari balik bajumu masih terlihat bercak bekas cumbuku belum hilang sempurna. Lagi, hangat pelukmu mewarnai malam itu. Bahkan aku enggan melepasnya meski malam telah sirna. Dan kita belum terlelap sempurna. Ah, jangan ditanya betapa penat, betapa terkurasnya energi atas nama nafsu dan cinta.
Aku bangga, gadisku selama ini mau menjaganya. Juga hanya memberikannya untukku sebagai calon suamimu. Lagi dan lagi, serasa tak habis keinginanku untuk sekedar mencium, bembelai halus rambutmu. Mematri aroma tubuh itu dalam memori otakku. Merekam indah tubuh serta banjir peluhmu dalam mataku.
Ah, bahkan meski telah yang kedua kali, tapi kau masih menjerit kala kumasuki. Isakmu masih kudengar jelas dikala pagi, seraya perih kembali membayangi, demikianlah tutur lembutmu.
Ah, mungkin aku telah gila. Membiarkan pagi itu kau pulang dengan banyak perubahan. Dalam jalanmu terlihat betapa sakitnya bekas peraduan malam itu. Juga dibalik bajumu, kuperpanjang masa bekas cumbuku di sana.
"Evelyn! ...." kuteriakkan namanya kini. Tangis masih menghiasi sembari memukul pohon besar yang jadi saksi bisu jilatan si api besar.
Kulangkahkan kaki untuk pergi. Satu hal yang kuyakini pasti, kita akan segera bertemu kembali. Jika tak di dunia ini, mungkin di duniamu kini. jaguarqq
Aku janji kita akan bersama lagi. Habiskan waktu selama mungkin. Sampai Tuhan yakin bahwa memisahkan dunia tak ada gunanya. Karena Tuhan telah berjanji, selama perjuanganku dalam doa-doa yang kupanjatkan untuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar