20 Jul 2020

Kakak

JaguarQQ

Kaki melangkah, memasuki pekarangan rumah peninggalan orang tua. Dua puluh lima tahun yang lalu, mereka meninggal dalam tragedi kecelakaan beruntun.
Sedang saat itu aku dititipkan di rumah kakek. Hanya lewat foto hitam putih, bergambar pasangan muda menggendong bayi, mereka berdua kukenali.
Dedaunan berhamburan, menambah nuansa angker rumah berbahan kayu bercat putih. Nampak kesan mewah di sana, jika menelisik tahun saat dibangun. Otakku menganalisis, seberapa kaya mereka jika ini hanya satu dari lima rumah peninggalannya.
Mulai mengetuk pintu, namun tak tersambut. Kuputar kepala, mengintip lewat kaca jendela. 
Dalamnya nampak berpenghuni, secantik lilin yang tertata rapi.
"Ah, mungkin orangnya masih mandi." Aku mulai bermonolog. 
Yang kutahu rumah ini dititipkan pada Mang Komar. Cucu dari keponakan kakek.
Aliran udara dingin membelai, rasa takut seketika membuat kakiku lunglai. Tengkuk memberat, sekaligus mendirikan bulu kuduk. 
Tak lama akhirnya pintu terbuka. Menampilkan wajah ayu bermuka sama. Seketika logikaku bertanya, apakah ini imajinasi belaka?
Wanita berparas ayu itu tersenyum, dengan lembut mempersilahkan masuk. Berat langkahku, penuh ketakutan serta pertanyaan. Siapakah gerangan?  bandarq online 
Ia menepuk pundak. "Duduklah dulu, aku tahu apa yang ada di benakmu." Garis senyumnya mengingatkanku akan senyum yang sama.  

Senyum pada foto ayah.
Kuamati satu-persatu langkahnya. Dimulai dari menyalakan barisan lilin yang tersebar, lalu menyuguhkan secangkir teh hangat.
Kini ia duduk tepat di hadapan. Wajah yang ia miliki seperti jiplakan wajahku. Garis wajah, senyum, serta bening kulitnya. Apakah kami lahir dari rahim yang sama? Pada siapa aku harus bertanya? Almarhumah ibu? Ayah? Kakek?
"Namaku Delisa," ucapnya membangunkan lamunan. Sungguh nama yang mirip.
"Aku Delisia. Apa seperti dugaanku?" Kupegang lembut cangkir hangat, berharap ia menyalurkan kekuatannya untuk sebuah kenyataan besar yang akan terkuak.
Dia tersenyum, sampai kedua matanya tertutup sempurna. Astaga, bahkan yang ini saja sama, bagaimana logika ingin menyanggahnya?
"Iya, aku kakak kamu. Kita kembar identik." Lagi, satu persatu fakta ia beberkan. Mengguncang kenyataan yang selama ini kupercayai.
Kuredakan sedikit kebisingan dalam batin, dengan meneguk teh hangat dalam genggaman.
"Lalu, kenapa selama ini aku dibesarkan seperti anak tunggal? Bahkan sedikit pun kakek tak pernah bercerita." 


Kutatap intens kedua matanya yang mulai berair. Lama, lalu ia membekap mulutnya. Sebagai perlawanan atas ketidakadilan.
"Tenanglah, Kak. Aku tak memaksa dapatkan cerita. Jika itu menyakitkan, tak apalah biarkan selamanya tersembunyi. 
Aku senang, ternyata masih punya kakak di sini." Senyum kupaksa sembunyikan luka. 
Entah ingin marah pada siapa? Mereka yang menyembunyikan Kak Delisa?
Kusodorkan helai tissu, lalu kami tertawa kompak bersama. Tak banyak cerita kami, karena dia hanya mengurung diri di sini. 
Kadang dalam cerita-ceritanya, ada sedikit pernyataan yang tak wajar.

Gawai bernyanyi, memberitahu ada yang menghubungi. Tertera nama Mang Komang di sana. Meminta izin mengangkatnya di luar. 
Kak Delisa mengangguk serta memberi senyuman.
"Halo, Mang. Mang Komang di mana? Ini aku sudah bertemu kakak."
"Apa Neng? " pekiknya sampai kujauhkan si hape, "tunggu sebentar. Bisakah kita bertemu di warung kopi depan gang?" suaranya bergetar. 
Entah apa yang ia sembunyikan.
"Baiklah, Mang."
Bergegas kuhampiri Kak Delisa yang masih setia menanti. "Kak, aku mau keluar sebentar bersama Mang Komang. Kakak mau ikut?"
Ia menggeleng. "Delisia, bisakah kita bicara lebih lama? Besok-besok bisa kok bicaranya sama Mang Komang." Ia memasang wajah memilukan.
Sebenarnya keingintahuanku lebih besar. Tentang bagaimana dia hidup terasingkan. Bukankah cerita hidupnya menyedihkan? Setidaknya biarkan kami berpelukan, berbagi hal yang selama ini tak kuketahui.
"Kita foto untuk kenang-kenangan yuk, Kak."
Ia menggeleng, namun secepat kilat foto mengambil gambar wajah kami. Wajahnya sedikit buram, pucat dan penuh keanehan. 
Itulah gambar dari mata kameraku. Kuabaikan, biarlah nanti kubeli hape berkualitas foto mumpuni.
Kulihat wajah murung yang baru kupaksa ambil gambarnya. "Kak, jangan sedih."
Spontan ia memelukku. Erat, namun yang kurasa dingin. Apakah karena ketakutannya akan kembali ditinggal si saudara?
Kulepaskan pelukkannya. "Suaranya penuh kegundahan. Mungkin Mang Komang butuh bantuan. Sebentar saja, nanti aku pastikan kembali untuk melanjutkan cerita kita." Kami bersalaman, tangannya sedingin makhluk kutub selatan. Sedikit aneh, namun tetap kuabaikan.
Sesampainya di warkop , Mang Komang telah menanti. Dengan wajah penuh aura kegelisahan.
"Mang, ada apa?" Segera menyapanya dengan pertanyaan, lalu bersiap duduk mendengarkan.
"Neng, kamu bertemu Delisa?" Gelagatnya bagai seorang pencari warta. Sebenarnya ada apa?
"Iya, Mang. Anehnya kenapa tak ada yang cerita kalau aku punya saudara kembar? Kakek membesarkanku selayaknya anak tunggal."
Luruhlah kaca dalam mata Mang Komang. "Neng, bisakah mempercayai setiap ucapanku ini?"
Matanya menerawang mega berwajah suram. "Neng, kalian itu memang kembar identik. Dia kakakmu lahir lebih dulu dalam lima menit."
"Orang sini bilang, keluarga Bagaskara punya perjanjian. Yang mana kekayaannya harus dibayar oleh beberapa nyawa. Keduanya meninggal karena tak dapat tumbalnya yang kesekian." Seketika jantungku berhenti, ingin memungkiri kebenaran pahit ini.
"Lalu kakak?" pekikku amat frustari.   jaguarqq
"Kata kakekmu dulu, Delisa ingin dijadikan korban, namun gagal. Delisa disembunyikan oleh orang suruhan kakekmu. Sedang kamu dibawanya dalam dinas kerja." Kembali dia memberi jeda sembari menikmati rintik hujan sang senja.
"Tapi, setelah kakekmu meninggal, kakakmu ikut meninggal. 
Di rumah tadi, ia pergi minggu lalu. Penyakit paru-parulah yang setia menemani umur mudanya."
"Apa? Kakak meninggal? Lalu ...."
Mungkinkah tadi arwah Kak Delisa? Jadi selama ini dia di sini menderita? Terkurung sebagai putri buangan. Gadis yang sengaja di asingkan, tanpa sejejak pun kebenaran. Entah maksud kakek meninggalkannya apa. Yang jelas Kak Delisa selama ini begitu tersiksa.
Batinku lara. Kenapa di sisa hidupnya harus terpisah? Hanya tertemani penyakit, menanggung derita demi hidup lebih lama.
Tetes demi tetes bulir beningku memenuhi meja. Seakan kompak berkolaborasi dengan rintik hujan yang juga menyapa dalam pancaroba.


JaguarQQ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar