9 Jul 2020

MITOS

JaguarQQ


Kami melompat dari Bus yang berhenti. Setelah memastikan penumpangnya sudah turun, sang kenek mengetuk pintu mobil. Bus reyot itu segera kembali melaju diiringi suara khas besi tua yang dipaksa bergerak dengan mesin menggeram berat.
Suasana sudah benar-benar petang. Sekitar jam 9 malam. Hamparan tanah kosong dan pepohonan menjadi satu-satunya pemandangan. Di kejauhan tampak satu dua rumah dengan nyala lampu teplok berwarna merah kekuningan.
"Sial, kemaleman kita, Lex!" Andre menggerutu, terdengar sedikit takut.
"Masih jauh nih jalannya?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan. Kami di ujung jalan tanah dimana kanan kiri masih berhias ilalang dan rerumputan. 
"Lumayanlah, harus jalan sekitar satu setengah kilo." 
"Mati." Aku menggaruk kepala. Dalam hati merutuk menyalahkan Bus rongsok tadi. Beberapa kali harus mengalami kerusakan mesin atau pecah ban. Perjalanan yang seharusnya memakan waktu 3 jam, akhirnya harus menjadi 5 jam. 
Liburan kali ini aku ikut Andre, teman kuliah, pulang ke Kampungnya yang termasuk daerah pedesaan terpencil. Aku tertarik karena dia sering bercerita tentang alam yang masih asri, sungai, dan tradisi-tradisi yang masih terjaga dengan baik di sana.

"Biasanya masih ada satu dua tukang ojek atau para petani yang baru menjual hasil panen ke kota lewat, kita bisa menumpang. Tapi kalau sudah semalam ini, kita harus jalan kaki, Lex."
"Ya udahlah buruan, yang penting cepet sampe!" Aku memutuskan sambil mulai melangkah.
"Inget baca doa, Lex. Apalagi di depan sana kita bakal ngelewatin daerah rawa!" Andre mengingatkan.
"Iya, Mak!" Sindirku cuek.
"Yaelah, serius gua Lex. Rawa itu termasuk daerah paling angker di sini. Sering ada gangguan."
"Nah elu malah nakut-nakutin!"  bandarq online 
"Bukan nakutin Lex, seenggaknya kita bisa lebih waspada."
Sambil berjalan, Andre terus mengingatkan apa yang boleh dan tidak boleh kami lakukan saat melintasi daerah-daerah angker. Seperti harus mengucapkan salam dan permisi sebanyak tiga kali, tidak boleh berkata kasar, dan jangan kencing sembarangan.

Jujur, aku kurang percaya hal-hal di luar logika seperti itu. Tapi tidak ada salahnya menghormati mitos yang telah terjaga selama puluhan atau bahkan ratusan tahun. Toh tidak ada ruginya.
Jalanan benar-benar gelap. Satu-satunya penerangan hanya berasal dari bulan sabit pucat yang menggantung di langit malam. Suara jangkrik dan binatang lainnya terdengar di sana-sini sebagai irama. Menandakan betapa hening suasana jalan yang kami lalui saat ini.
Andre terdiam, lalu mulai terdengar rapalan doa dari mulutnya. Jujur, itu membuat suasana terasa semakin tegang. Karena tak seberapa jauh di depan sana, terlihat pepohonan dan cekungan jalanan. Ternyata kami sudah mendekati daerah rawa yang dari awal tadi dia ceritakan.
Tanpa bicara, kami mulai melangkah di jalanan menurun. Gelap. Tanpa cahaya. Terdengar suara beberapa burung malam di atas pohon. Suaranya sekilas mirip dengan orang yang sedang terkekeh geli.
Ternyata ada sebuah rumah di ujung tepian rawa. Rumah kecil terbuat dari papan. Terlihat dalam kondisi menyedihkan. Tidak ada penerangan apapun di sana. Mungkin karena tak berpenghuni.

Tiba-tiba, Andre mencengkeram lenganku erat. Aku bisa menebak dia melihat sesuatu. Selama ini aku tahu anak itu punya semacam indra ke enam. Sensitif terhadap makhluk-makhluk tak kasat mata. Itu yang sering membuatnya terlihat sedikit penakut.
"Lepasin, Ndre! Sakit tangan gua!" Aku berucap risih.
"Lex ... gua ... ngeliat kuntilanak di depan rumah kosong itu," bisik Andre pelan, suaranya sedikit gemetar.
Aku menatap ke rumah tua yang akan kami lewati. Tidak ada apa-apa. Kosong. 
"Lex, dia ngeliatin kita ..." bisik Andre dengan cengkeraman semakin erat. Langkahnya meragu. Karena rumah itu hanya berjarak sekitar 10 meter sekarang.
Aku tidak tahu harus berkata apa, akhirnya yang terucap hanya, "Baca doa, Ndre!"
"Astagfirullah!" Suara Andre tercekat bersamaan langkah yang seketika terhenti.
Kaget, aku menoleh menatapnya. Meski ekspresi wajahnya tak terlihat karena gelap.
"Lex, ada kuntilanak lagi yang datang, masih melayang-layang di atas pohon sana,"
Aku mendongak mengamati dahan pohon-pohon raksasa di kanan kiri jalan. Gelap. Tak terlihat apa-apa yang sedang melayang. Hanya kulihat beberapa dahan bergoyang lebih kencang dari yang lain.
Langkah Andre semakin kaku. Terseret-seret. Setengah mati aku melangkah maju. Semakin mendekati rumah terbengkalai itu.
"Astagfirullah ... Astagfirullah ...!" Andre terus tercekat.
Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Ketakutan. Kedua lengannya mencengkeram tanganku, gemetar hebat. "Makin banyak yang datang, Lex! Astagfirullah ... Ya Allah!! Mereka datang dari mana-mana Lex!"
Suaranya seperti anak kecil yang hampir menangis. Sementara tengkukku mulai merinding. Seumur hidup aku belum pernah merasakan yang seperti ini. Mencekam. 
Kami terhenti tepat di depan rumah usang itu. Andre berdiri kaku, seperti tak bisa bergerak karena begitu ketakutan. Matanya membeliak lebar ke sana kemari. 
Jujur aku tak bisa melihat apapun yang dilihatnya. Tapi, aku tahu dia tidak mengada-ada. Suasana juga terasa semakin mencekam. Hawanya begitu aneh. Terutama angin yang seperti berputar-putar di atas kepala.
Andre bilang kuntilanak-kuntilanak itu mengeluarkan suara tawa nyaring yang ramai. Memekakan telinga. Mereka terus berdatangan dari segala arah. Seperti ada sesuatu yang menarik perhatian mereka. 
Kami?
Tiba-tiba terdengar suara perempuan mengerang cukup keras. Itu satu-satunya suara yang kudengar. Sepertinya suara itu pun mengagetkan Andre. Seketika dia berteriak dan berlari kencang meninggalkanku di tengah kegelapan. Sendirian.

"Andre! Sialan ..." Aku mengumpat dengan dada berdebar kencang. Sementara kedua kaki terasa begitu sulit digerakkan.
Mencoba tenang, dengan tangan gemetar aku menyulut sebatang rokok. Kebiasaanku jika sedang gugup dan ketakutan.
Krutuk-krutuk-krutuk! Terdengar suara lemparan pasir di atas kepala. Bahkan aku bisa merasakan beberapa butir mengenai wajah.
Masih terdengar jelas rintihan itu. Merinding berkali-kali tengkukku. Terdiam. Kaku. Merasa detik demi detik terasa begitu lama.
Sampai akhirnya terdengar suara cekikikan nyaring. Tepat di depan wajahku.   "Aaahh!!"

Pagi aku dan Andre tengah menikmati ubi goreng dan kopi di balai depan teras rumah, saat kami melihat beberapa warga terlihat berbondong menuju ke satu arah.
Wajah mereka tegang, sambil sibuk menggumam sesuatu dengan bahasa mereka. 
"Ada apa mereka, Ndre?" Aku bertanya, sedikit penasaran.
Andre ternyata juga memperhatikan tingkah mereka. Terbukti dia tidak menjawab pertanyaanku, dan malah berseru pada salah satu warga.
Mereka bercakap sebentar yang entah membicarakan apa. Terlihat sama-sama serius. Andre mengangguk-angguk dengan ekspresi antara prihatin dan ngeri. Membuat rasa penasaranku semakin menjadi.
Laki-laki yang diajak bicara Andre mengangguk padaku sebelum pergi. Lalu meneruskan langkah ke arah berlawanan dengan mereka yang berbondong-bondong.
"Ada apa, Ndre?" Aku bertanya lagi.
"Ada musibah," jawab Andre sambil menyeruput kopi.
"Musibah apa?"
"Ada wanita hamil kehilangan bayinya! Kemaren masih baik-baik saja, tapi pagi ini tiba-tiba perutnya kempes! Kasihan," Andre bergidik ngeri.
"Hah? Tiba-tiba kempes? Gimana ceritanya?" Aku meringis, heran.
"Mungkin orang kota kaya lu memang nggak percaya ama yang beginian, Lex! Tapi di sini itu udah lumrah." Andre menghela napas, "banyak kejadian, tiba-tiba kandungan bisa menghilang. Itu karena di bagian desa yang lain, ada seseorang yang pergi ke dukun untuk meminta bantuan agar bisa hamil dan punya anak. Nah, biasanya dukun itu akan memakai ilmu hitam untuk memindahkan kandungan dari wanita yang sedang hamil ke perut wanita yang membayarnya itu." 
Aku menatap Andre heran. Baru kali ini aku mendengar yang seperti itu. Rasanya aneh, dan sama sekali tidak bisa dipercaya. Bagaimana bisa kandungan bisa dipindahkan?
"Jangan nggak percaya, dulu bibi gua juga minta anak ke dukun karena udah 7 tahun belum punya anak. Berhasil. Perutnya tiba-tiba gede dalam waktu semalam. Lalu setelah ngelahirin, muka anaknya jelas beda sama ayah dan ibunya. Entah mirip siapa. Itu karena sebenernya dia anak orang lain."
"Nggak masuk akal," gumamku.
"Memang susah dijelasin pake logika," sahut Andre, "ayo kita ke rumah yang lagi kena musibah. Siapa tau lu mau denger dari cerita mereka, sekalian jadi bukti apa yang gua bilang!"


Rumah wanita itu terlihat sederhana, khas bangunan desa. Dengan halaman cukup luas dihiasi bunga-bunga kampung. Terlihat dipenuhi para tetangga yang memasang muka prihatin bercampur kengerian. Beberapa diantara mereka meneteskan airmata turut berduka.
Berkat Andre, kami bisa menyelinap masuk dan melihat kondisi wanita yang baru saja kehilangan kandungannya.
Usianya masih terbilang muda, hanya saja wajah dan tubuhnya seperti tidak terlalu dirawat. Kulitnya gelap menandakan sering terjemur terik matahari.
Wajahnya menunjukkan ketegaran walau masih tampak lemah. Sesekali mengusap perut yang terlihat masih sedikit menggembung, tapi terlihat kosong. Dua orang anak kecil ada di dekat wanita itu. Satu meminta pangku, dan yang satu lagi makan kue-kue kering dengan lahapnya. 
Itu anak-anaknya.  Sementara seorang lelaki kurus berbau asap tembakau duduk di ruang tamu bersama para tetangga itu suaminya
Mereka banyak bercerita. Menyamakan kejadian-kejadian yang lalu. Yang sudah banyak terjadi selama ratusan tahun. Lumrah, mengerikan tapi mereka sudah biasa mendengar. Maka yang terjadi selanjutnya mereka sibuk menebak-nebak wanita mana yang sedang meminta keturunan dari seorang dukun. Menduga-duga di belahan desa mana tempatnya.
Tapi ... tidak ada satupun yang curiga.,, kecuali aku
 "Mau kemana, Lex?" Andre bertanya padaku, ragu.
"Mau ikut nggak?" Aku bertanya padanya.
"Ya ikutlah. Entar kalo lu kesasar, gua juga yang repot!" gerutu Andre.
Dia segera membonceng di motor bebek yang kupinjam dari abangnya. 
Menyusuri jalan yang semalam kami lalui. Andre sempat bertanya, tapi aku hanya diam. Berpikir. Hanya berusaha meyakinkan kecurigaanku.
Di atas jalanan menurun daerah rawa semalam, aku berhenti. Kupandangi rumah terbengkalai yang nyaris roboh itu. Bahkan di siang hari pun terlihat sedikit menyeramkan. Mungkin karena banyak pepohonan tua dan besar tumbuh menjulang di sekitar.
"Mau ngapain ke sini, Lex?" Andre setengah berbisik, "lu tau kan siang hari juga gua bisa ngeliat makhluk halus?"
"Sebentar aja, Ndre. Kalo lu takut, di sini aja nungguin motor!" Sahutku.
Andre menurut. Beberapa kali pandangannya tertuju ke arah pohon besar. Seperti tengah melihat sesuatu di sana. Dia tidak mengikutiku masuk ke rumah itu. Memilih diam bersiap di atas motor.
Aku menuruni jalan, lalu memasuki halaman rumah berdinding papan yang sebagian sudah jebol itu. Perlahan, mengintip di pintu. 
Kosong, lembab, dan hening. Bau lumut dan barang-barang usang menyerbu indra penciuman. Juga bau aneh.
Bau ... anyir.
Aku mengucap salam. Lalu melangkah masuk ke rumah itu hati-hati. Suasana sedikit gelap karena jendela yang tertutup.
Hanya ada 3 ruang yang semuanya tidak terlalu besar. Beberapa kursi tua yang kaki-kakinya sudah tak lengkap, juga satu ranjang bekas usang di kamar.
Tidak ada yang aneh, kecuali ...Bercak darah. Mulai mengering, tapi semakin aku memasuki kamar gelap itu, semakin banyak terlihat darah di bawah ranjang.
Dengan sekuat tenaga, aku membuka paksa jendela. Seketika sinar matahari menerangi. Bau anyir menyeruak menusuk hidung. Mataku jelalatan ke setiap sudut ruangan. Hingga akhirnya pandanganku terhenti di atas tanah bekas galian.
Cepat, aku mengambil sepotong ranting kering di luar, lalu kembali ke dalam. Tanpa membuang waktu, segera mengorek-ngorek tanah galian itu. Lalu berhenti saat kutemukan sebuah kain putih yang dipenuhi bercak darah. Ketemu.

Suasana desa kembali ramai. Kali ini bukan cuma para tetangga yang memenuhi rumah sederhana itu. Tapi juga beberapa anggota kepolisian.  jaguarqq
Wanita itu, ternyata baru mengaborsi kandungan yang telah memasuki usia 7 bulan. Alasannya, karena mereka terlalu miskin untuk mengurus 3 orang anak. Tapi beberapa orang tetangga -dan suaminya- yakin, alasan sebenarnya adalah karena ibu muda itu terlibat perselingkuhan. Sudah lama suaminya curiga. Tapi tidak punya bukti. Bulan-bulan awal kehamilan, mereka sempat bertengkar. Lalu suaminya berkata, biar rupa sang bayi yang menjadi bukti.
Entah, apapun alasannya, yang jelas wanita itu sudah melakukan aborsi. Hal yang melanggar hukum. Jadi sudah sepantasnya untuk mempertanggung jawabkan perbuatan yang sudah ia lakukan.
"Pantas saja semalam banyak kuntilanak di sana ya Lex. Kaya lagi berpesta. Mitosnya, kuntilanak memang paling suka bau darah orang melahirkan." Andre menyimpulkan saat kami berjalan pulang.
Aku cuma tersenyum. 
Hal-hal gaib memang ada. Karena itulah mitos tercipta. Tapi setidaknya, jangan sampai kita menutup logika. Karena kadang, ada orang yang memanfaatkan tingginya kepercayaan tentang suatu mitos hanya untuk menutupi kejahatan yang dilakukannya.


JaguarQQ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar