10 Jul 2020

Antara Ibu dan Layla



"Layla mana, Bu?" tanyaku setelah mencium punggung tangan ibu dan melangkah memasuki rumah. 
"Ada di dalam kamarnya, dari tadi sore belum juga keluar kamar. Apa mungkin sakit? Coba nanti kamu tanyakan, Han." Ibu menatapku. Ada sedikit kekhawatiran tersirat dari sorot matanya.
"Ya, Bu." Aku mengangguk, lalu segera pergi ke kamar.
Setelah beberapa menit mengetuk dan tidak juga dibuka, aku memutar gagang pintu. Ternyata tidak dikunci.
Kudapati Layla sedang duduk di tepian ranjang, memunggungiku. Aku tahu ada masalah, karena dia hanya diam walaupun mendengar aku datang. Biasanya walau sedang melakukan hal pentingpun akan ia tinggalkan untuk menyambut kedatanganku.
"Sayang, kamu kenapa? Kata ibu dari sore nggak keluar kamar?" Aku menyentuh bahunya.
Tapi saat Layla menoleh, astaga! Aku melihat memar merah di pipi kirinya. Seperti ... bekas tamparan.   bandarq online 
"Kenapa pipimu?" Refleks aku menyentuh memarnya. Layla sedikit mengaduh, sementara matanya yang sembab kembali menumpahkan bulir-bulir bening.
"Ayo bilang, ada apa?" Aku mendesak, mulai berpikir macam-macam.
Dia mengusap airmata dengan punggung tangan.
"Aku bener-bener udah nggak tahan, Kak." Dia mulai terisak, "sikap ibu sudah keterlaluan ...aku mau pergi. Aku mau pulang ke rumahku saja ..." tangisnya sesenggukan.

Aku terdiam. Antara rasa kasihan, marah, tapi sebagian hatiku tetap menolak untuk percaya.
Ibu, adalah perempuan bijak dan penyayang. Setidaknya itu yang terlihat olehku. Tapi akhir-akhir ini, semenjak ibu tinggal bersama kami, aku mendengar sesuatu yang berbeda.
Beberapa tahun mengontrak, akhirnya aku dan Layla tinggal di rumah yang baru saja kami beli. Tidak terlalu besar tapi memiliki beberapa kamar. 
Sepeninggal ayah, ibu memang tinggal sendiri di rumah lama kami, aku merasa tidak tega. Aku adalah putra ibu satu-satunya. Sementara aku hanya bisa menjenguknya sesekali karena kesibukan kantor.
Tapi, permasalahan demi permasalahan terus terjadi setelah ibu tinggal bersama kami. Lebih tepatnya permasalahan antara ibu dan Layla.
Seringkali sepulang dari kantor aku mendengar Layla mengadu. Ibu memarahinya untuk kesalahan yang dia tidak lakukan. Tanpa Layla tahu apa salahnya.
Sementara beberapa kali, ibu berkata padaku, agar menasehati Layla tentang beberapa hal. Seperti sopan santun dan bagaimana bersikap di depan orang tua.
Aku sempat bimbang mendengar keluhan mereka berdua. Di mataku, mereka berdua sama baiknya. Sama lembutnya. Juga sama-sama selalu menghargai orang lain. 
Atau ... itu semua hanya dilakukan di depanku saja?

Masih terngiang di telingaku nasehat salah satu teman yang sudah lebih lama menikah. Salah satu masalah dalam berumah tangga memang persaingan antara mertua perempuan versus menantunya. Mungkin mereka berdua sama-sama baik. Hanya saja biasanya mereka cemburu satu sama lain.
Ibu merasa dia yang paling mengerti putranya. Mengerti bagaimana sifatnya, mengerti makanan apa saja yang disukai, juga mengerti bagaimana cara menyenangkan hati sang putra. Sementara istri merasa bahwa seorang suami seharusnya sudah menjadi milik sang istri sepenuhnya. Karena itu, mereka berdua tanpa sadar sering melakukan persaiangan untuk mendapat cinta putra dan suami mereka.

Yang harus kau lakukan adalah mencoba mengerti dengan memberi perhatian pada mereka berdua. Hormati kasih sayang ibumu, juga hargai cinta istrimu. Kalau bisa jangan memihak salah satu dari mereka. Bersikap netral jauh lebih baik. Kecuali kalau memang satu di antara mereka sudah bersikap melampaui batas.
Ibu menampar Layla, apa bisa kuanggap ini telah melampaui batas?
Aku menarik napas, sejenak merasa bingung, apa yang harus kulakukan.
Layla bangkit berdiri. Melangkah ke arah lemari, lalu mengeluarkan sebuah koper.

"Sayang," aku menarik lengannya. "Jangan pergi, biar aku bicarakan dulu dengan ibu," cegahku.
"Bicarakan apa, Kak? Bahkan aku nggak tau aku salah apa! Tiba-tiba ibu datang dan menampar. Seperti biasanya, aku nggak melakukan kesalahan tiba-tiba ibu marah-marah! Aku nggak ngerti kenapa ibu ngelakuin semua ini." Layla menatapku lewat mata sembabnya. Terlihat kesedihan dan kemarahan menyatu di sana. 
"Makanya, biar aku tanyakan dulu pada ibu apa masalahnya! Nggak semua masalah rumah tangga harus diselesaikan dengan kepergian! Yang ada malah semua masalah semakin melebar kemana-mana!" Aku menatapnya lekat.
Akhirnya Layla memelukku erat. Tangisnya pecah di dadaku. Entah sampai berapa lama, tapi aku tahu dia sungguh terluka.

Ibu membantah semua yang Layla katakan. Ibu bilang dia tidak pernah menampar menantunya. Bahkan ibu heran kenapa Layla mengurung diri di kamar. 
Kulihat mata ibu berkaca-kaca saat aku bertanya, dengan nada sedikit menuduh. Bukannya aku bermaksud begitu, hanya saja bekas tamparan di pipi Layla, membuat kepercayaanku sedikit goyah. Hanya saja apapun alasannya, aku yakin ibu melakukannya karena sesuatu yang benar. Itu keyakinan seorang putra pada ibunya.
Hasil dari pertemuan kecil yang kuadakan di ruang keluarga, mereka berdua sama-sama menangis setelah sedikit berdebat akan pendirian masing-masing. Layla tetap bilang itu tamparan ibu, sementara ibu bilang dia sama sekali tidak tahu.
Mereka berdua sama-sama bersumpah tidak bersalah.
Aku yang mendengar hanya bisa terdiam. Lalu memohon pada mereka berdua untuk saling memaafkan entah siapapun yang salah.
Tapi aku tidak tinggal diam.
Hari ini aku mengajak mereka berdua pergi keluar untuk jalan-jalan. Kebetulan kantor libur. Jadi kami menghabiskan waktu seharian di luar. Sementara aku menyuruh seseorang datang ke rumah.


"Layla mana, Bu?" Aku bertanya setelah mencium punggung tangan ibu.
Ibu terlihat sedikit gugup. Atau sedikit takut. Membuatku mulai curiga ada sesuatu yang telah terjadi.
"Dari sore tadi ... Layla mengurung diri di kamar, Han." Ibu menatapku. "Tapi Han ... ibu benar-benar tidak tahu kenapa Layla mengurung diri. Ibu tidak melakukan apa-apa ..." mata tuanya mulai berkaca-kaca.
Ibu mungkin takut akan dituduh lagi, membuat hatiku terenyuh.
Aku mengusap bahu ibu, menenangkannya. Lalu berjalan ke arah kamar.
Setelah beberapa saat mengetuk dan tidak ada sahutan, aku menekan gagang pintunya. Pintu terbuka. Lalu kulihat punggung Layla yang berguncang-guncang di tepian ranjang.
Aku menarik napas, lalu masuk ke kamar.
"Sayang ..."
Layla menoleh. Aku tercekat. 
Pipi kiri Layla kini terlihat lebam membiru.

Beberapa saat lamanya ruang keluarga dipenuhi oleh isak tangis. Tangis Layla dan tangis ibuku. Sementara aku, mulai melakukan sesuatu.
Di dalam kamar, aku menyalakan komputer. Lalu mulai memutar rekaman cctv yang beberapa hari lalu dipasang saat aku mengajak mereka berdua pergi keluar.
Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan dada sedikit berdebar, aku mulai menyaksikan rekaman dari jam ke jam. Tadinya semua berjalan normal. Sesekali kulihat ibu dan Layla saling bicara di ruang keluarga. Tak ada yang salah, tak ada pertengkaran. Semua berjalan normal.
Hingga akhirnya tepat pukul 18.20 kulihat sesuatu yang cukup mengejutkan.
Terlihat di rekaman cctv, Layla berdiri di ruang keluarga. Sementara ibu berdiri di depannya. Aku tak bisa melihat ekspresi ibu, karena dia berdiri memunggungi kamera cctv. 
Mereka terlihat berbicara sebentar. Ah bukan, bukan berbicara. Kulihat ketakutan di mata Layla saat itu. Lalu tiba-tiba saja ... oh astaga! Tangan ibu melayang tepat ke wajah Layla.
Keras sekali, hingga istriku tersungkur menabrak meja.
Aku menghentikan rekaman. Menarik napas, lalu memijit kening. 
Heran, bingung, tak percaya, ditambah rasa kekecewaan mendalam. Pada ibu. Ya, pada ibu. Ternyata benar, ibu yang melakukannya. Tapi kenapa? Apapun kesalahan Layla, bukankah lebih baik dibicarakan dulu. Setidaknya padaku. Dan lagi ... kenapa tidak mau mengakui bahwa ibu memang melakukannya?

Sambil sibuk berpikir apa yang harus kulakukan, aku memutar rekaman cctv di dapur. Aku memang memasang beberapa cctv sekaligus untuk mengamati apa yang sebenarnya terjadi. Di ruang keluarga, ruang tamu, dapur, dan teras rumah.
Tanpa semangat, aku melihat aktivitas yang mereka lakukan di dapur. Mungkin saja aku menemukan bukti lain. Atau setidaknya kesalahan apa yang dilakukan Layla hingga membuat ibu semarah itu.
Tapi ... tak ada apa-apa. Mereka tampak baik-baik saja saat memasak di dapur. Kadang malah diselingi tawa.
Aku memijat keningku lagi. Tak mengerti. Kenapa ibu melakukannya? Kenapa?
Hingga akhirnya aku menyadari sesuatu.   jaguarqq
Pukul 18.15. Aku melihat ibu masuk ke dapur. Melangkah sedikit cepat, lalu masuk ke kamar mandi. Agak lama dia di dalam sana. Hingga waktu layar cctv menunjukkan pukul 18.30. Ibu baru keluar. Sepertinya baru saja melakukan buang air besar. Karena saat keluar dia masih memegangi perut dengan ekspresi wajah mengernyit.

Aku terdiam. Berpikir. Menyadari ada sesuatu yang aneh.
Peristiwa pemukulan Layla terjadi sekitar pukul 18.20, sedangkan ibu ke kamar mandi pukul 18.15 sampai 18.30.
Jadi ... siapa yang memukul Layla?!
Kembali aku memutar rekaman di ruang keluarga tadi. Mengulang tepat ke pukul 18.20. Terlihat mereka di ruang keluarga. Aku menghentikan rekaman sebentar. Mengamati. Itu memang ibu. Bajunya, rambutnya, postur tubuhnya, itu benar-banar ibu. Jika bukan ibu pun raut wajah Layla pasti terlihat berbeda.
Tapi .., pada saat yang sama ibu sedang berada di kamar mandi? Jantungku berdebar. Apa yang terjadi? Ada dua ibu?
Tanpa sengaja, aku menekan tombol play lagi. 
Layla tersungkur jatuh setelah tangan ibu menampar pipinya. Terlihat Layla memegangi pipi, menangis. Kemudian bangkit berdiri dan berlalu pergi.
Sementara ibu tetap terdiam. Hingga beberapa menit dia hanya berdiri. Lalu ... seperti mengetahui dirinya sedang di awasi, perlahan kepalanya berputar.
Menoleh padaku. 
Lalu wajah rata itu menyeringai.


JaguarQQ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar