
Pernah dengar permainan Jaelangkung? Dulu, sempat ramai orang-orang memainkan permainan itu.
Cara bermainnya simpel. Kita hanya perlu menyiapkan buku kosong, pulpen atau pensil, dan seorang teman. Bukan, bukan teman untuk tumbal, tapi untuk pasangan bermain. Karena permainan ini minimal harus dilakukan oleh dua orang.
Waktu itu malam selasa, sekitar pukul sembilan. Rumahku sepi. Hanya ada aku dan teman yang sedang asik bermain di dalam kamar, sementara ayah dan ibu pergi ke luar sebentar karena suatu urusan.
Bosan bermain robot dan Playstation, kami mulai memikirkan satu permainan baru. Lalu entah bagaimana awalnya kami berdua sudah membuat sketsa untuk bermain Jaelangkung di atas lembaran buku kosong. Mungkin karena saat itu sedang musim, jadi kami pun ingin mencoba.
Ada gambar kotak bertulis 'Rumah' di posisi tengah. Di sisi kiri kotak lebih kecil bertuliskan 'Ya', dan di sisi kanan bertuliskan 'Tidak'. bandarq online
Sementara di atas kotak-kotak itu ditulis jajaran alfabet dan angka yang terpisah-pisah.
Selesai.
Kami duduk berhadapan. Lalu mulai menggenggam pensil dengan tangan saling bertumpuk. Kemudian mulai mengucap mantra pemanggil arwah jaelangkung dalam hati.
"Jaelangkung, Jaelangkung ... di sini ada pesta kecil-kecilan, datang nggak dijemput pulang nggak di antar!"
Kami mengucapkan itu sebanyak 3 kali, lalu diam menunggu.
Tak lama, pensil mulai bergerak keluar dari kotak rumah. Aku dan Yori saling pandang dan tersenyum, merasa bahwa kami sudah berhasil, tapi sebenarnya dalam hati saling mencurigai jika salah satu dari kami lah yang menggerakkan.
Jujur saat itu kami tidak terlalu percaya. Kami melakukannya hanya karena iseng ingin mencoba permainan baru yang lebih menantang. Kami dengar, ada beberapa orang yang pernah sampai kerasukan saat memainkan permainan di luar logika ini. Bahkan ada juga yang meminta syarat diantar pulang sampai ke kuburan.
Percaya? Tidak. Menurutku itu cuma omong kosong! Walaupun kami masih berusia sekitar 10 tahun, tapi toh kami bukan anak yang sepolos itu.
"Apa kamu sudah datang?" Aku bertanya saat melihat pensil bergerak menciptakan benang kusut di atas kertas.
Pensil bergerak menuju kotak 'Ya'.
"Siapa namamu?" Yori yang bertanya.
Pensil bergerak lagi menuju jajaran alfabet. Melingkari huruf demi huruf hingga terbaca nama 'Ita Atapurnama'.
Aku dan Yori tersenyum lagi. Ternyata setan cewek yang datang, pikirku tanpa rasa takut. Karena hingga saat ini aku berpikir Yori lah yang menggerakkan. Mungkin itu juga yang dipikirkan Yori, bahwa aku mencoba menipunya.
"Berapa umurmu?" tanyaku.
Sekarang pensil bergerak ke arah jajaran angka. Melingkari angka 12.
"Kamu mati kenapa?" Yori gantian bertanya.
Pensil bergerak. Melingkari huruf demi huruf hingga terbaca kata 'Kecelakaan'.
Aku dan Yori tersenyum-senyum. Merasa permainan ini menyenangkan walaupun ada unsur penipuan di dalamnya.
Entah kenapa suasana benar-benar sunyi. Biasanya terdengar suara motor atau mobil yang lewat di depan rumah. Karena aku tinggal di sebuah gang beraspal yang lumayan ramai. Tapi malam itu, seperti tak ada kendaraan yang melintas. Atau mungkin karena hujan gerimis menyebabkan orang enggan keluar?
"Kecelakaan apa?" Yori bertanya lagi.
Lagi-lagi pensil bergerak. Melingkari huruf demi huruf. Mata kami mengikuti dengan mulut ikut mengeja.
'Mobil bus'
Aku mulai merasa kebas di bagian telapak tangan. Dan merasakan genggaman Yori mulai berat dan berkeringat. Tapi mereka bilang jangan lepaskan begitu saja, karena setan yang terperangkap di dalam pensil bisa menghantui dan tak mau pergi. Jadi kupaksa saja bertahan, walaupun aku sama sekali tak percaya.
"Parah nggak?" Yori semakin tertarik.
Pensil bergerak menuju kotak 'Ya'.
"Seperti apa? Patah kaki? Patah tangan?" tanya Yori lagi. Sementara aku mulai merasa bosan karena genggaman yang semakin berat.
Pensil bergerak menuju kotak 'Tidak'.
"Putus kepala?" Kejar Yori.
Pensil sejenak terdiam di tengah. Lalu bergerak lagi menuju alfabet. Melingkari huruf demi huruf. Kami sama-sama membacanya.
'Pecah'
Wow! Itu artinya kepalanya pecah? Mengerikan. Bagaimana bisa Yori berpikir sesadis itu pada setan buatan kami. Haha.
Tapi kebosananku semakin menjadi. Aku menatap Yori, "Udahan yuk. Bosen!"
"Yaah, sebentar lagi!" Pinta Yori kecewa.
Aku memutar bola mata. Dia yang menjawab, tapi dia pura-pura penasaran. Dasar!
"Mau nanya apalagi sih? Capek tangannya!" Aku menggaruk kepala dengan sebelah tangan.
"Oke, pertanyaan terakhir." Akhirnya Yori mengalah.
Aku mengangkat bahu tanda setuju. Lalu membiarkannya bertanya lagi.
"Kamu tinggal di mana?" tanya Yori.
Pensil mulai bergerak menuju alfabet. Lalu melingkari beberapa huruf.
Kami mengejanya pelan dengan dahi berkerut.
'Sawah'
Hampir saja tawaku tersembur membaca di mana dia tinggal. Sawah? Dia tinggal di sawah? Lucu sekali! Apa sekarang Yori ingin melawak agar aku tidak merasa bosan?
Tapi kemudian pensil bergerak lagi, kembali melingkari beberapa huruf. Seperti meneruskan kata pertama tadi.
'Lunto'
Dahiku berkerut.
"Sawah Lunto?" Aku dan Yori bertatapan. Lalu tertawa gelak bersama. Bahkan dia mengarang nama kota yang aneh seperti itu. Sawah Lunto itu dimana? Mana ada nama kota Sawah Lunto? Dasar Yori!
"Udahan lah! Capek!" Aku berucap malas.
Yori terlihat setuju.
Tanpa mengatakan apapun pada 'Si Jaelangkung' kami setengah menyeret pensil itu menuju kotak 'Rumah'. Lalu dengan seenaknya melepaskan genggaman tangan begitu saja.
Berbaring bersama di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Tanpa berniat mematikan TV yang masih menyala. Hanya mendengar siaran berita yang sedang diberitakan secara Live.
Sayup-sayup kami mendengar reporter itu bicara. Menyebut-nyebut bahwa telah terjadi sebuah kecelakaan mobil tragis di sebuah kota. Kota bernama 'Sawah Lunto'.
Terhenyak, aku dan Yori saling pandang.
"Denger?" Aku dan Yori berseru hampir bersamaan.
"Sawah Lunto ada beneran? Kirain kamu cuma ngarang, Yo?" Mataku menyipit menatap Yori.
Yori menggeleng, "Kirain malah itu kerjaan kamu tadi?"
Kami sama-sama terdiam. jaguarqq
Lalu menoleh menatap layar televisi. Dimana terlihat puluhan orang berkerumun di sekitar sebuah bangkai bus yang terguling dengan kondisi penyok dan kaca berhamburan.
Kecelakaan terjadi sekitar jam 6 sore tadi. Bus antar propinsi bertabrakan dengan mobil truk gandeng. Mengakibatkan 23 orang tewas sementara sisanya luka-luka.
Terlihat beberapa nama korban tewas tertera di layar.
Gemetar, Yori menunjuk ke arah nomor 6. Refleks aku segera membaca namanya.
"Ita Atapurnama. 12 tahun."
Aku dan Yori bertatapan, lalu menoleh ke arah sketsa permainan Jaelangkung yang masih terbuka. Menyadari, bahwa kami tadi ... belum mengucapkan mantra untuk menyuruhnya pulang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar