
"Aku akan bersamamu, Sayang, selamanya. Aku akan memelukmu di sini, selamanya juga."
Aku mengerjap, dengan napas masih tersengal, dan keringat dingin penuh ketakutan. Mimpi, mimpi yang mampuh seolah hilangkan nyawa dalam raga.
Segera kududuk, pejamkan mata sebentar dengan memijit kepala. "Ini hanya mimpi," gumamku. Tetapi dalam detik berikutnya seolah memutar kembali ingatan dalam mimpi tadi. "Arrrggghhhttt ...." pekikku. Sial!
Segera kuambil minuman, menegakknya hingga tandas. "Serin, kau sudah mati."
Segera kulirik jam dinding di sebelah kananku. Aku membuang napas panjang, rupanya ini masih terlalu pagi. Jam setengah tiga pagi.
Aku tak percaya keberadaan setan dan semacamnya, tapi minpi tadi, seolah ingin lepaskan kepercayaan itu selama ini.
Wanita itu, tangannya bisa muncul dari mulutku. Bahkan, perutku bisa robek dan menyembullah kepalanya dari sana. Lalu, tanganku mulai terasa dingin, kulit pucat, dengan warna merah di ujung jari. Persis milik Serin sebelum pergi.
Dalam mimpi itu, si tangan tanpa ampun langsung mutilasi bagian intimku. Sakit, bahkan rasa itu mampu kurasakan kini, meski telah tersadar sempurna. Tangan itu juga memotong kedua kaki, dan tanganku lainnya. bandarq online
Lalu kuku merah itu seketika memanjang, terus dan terus tanpa henti. Hingga hujamkan pada wajah, lalu menembus dada dan paksa jantungku berhenti. Dia meremasnya begitu kuat, hingga aku terbangun dari mimpi tadi.
Kini, kududuk di teras depan. Persetan dengan orang, aku hanya butuh bernapas dan hilangkan ketakutan. Meski hanya bertelanjang dada dan pakai boxer saja.
Semilir angin dingin, sempat kurasa. Embuskan ringan hingga dirikan bulu kuduk. Persetan! Aku tak takut! Segera kuambil rokok yang sengaja kubawa. Membakar ujungnya, menghisap dan kepulkan asap.
"Kau sudah mati, Sayang."
Asap putih itu kembali keluar, bersamaan imajinasi liar tentang aku dan gadis itu. Ya, wanitaku yang ternyata seorang yang bisa diuangkan jasanya.
"Kau yang memulai, aku yang akhiri." Lagi, kepulan berkadar banyak racun itu membumbung panjang.
"Katamu dunia ini kejam, kan? Dan aku juga bisa jadi lelaki kejam, Sayang." Bau tembakau terbakar kini semakin mengedar, mengelilingi tempat kududuk bersandar.
Bunyi benda pipihku berdering, anehnya bernyanyikan suara wanita. Aneh, sejak kapan aku menggantinya?
Kunyalakan sejenak untuk melihat siapa yang melakukan panggilan sepagi ini. Tapi hasilnya, kosong.
Lagi, suara wanita bersenandung sama kembali hadir. Kunyalakan benda persegiku, tapi kosong. Kuputar kepala, tak ada seorang wanita pun di sini.
Suara itu rupanya enggan berhenti. Mengalun pelan, ringan, bahkan dari samar, hingga jelas nyanyian yang ia lantunkan.
"Saat kautak ada, atau kau tak di sini ... terpenjara sepi, kunikmati sendiri. Tak terhitung waktu, tuk melupakanmu. Aku tak perah bisa, aku tak pernah bisa ...."
Aku mengerjap, seolah tersadarkan. Sejak tadi, rupanya tak ada alunan yang mengiringi nyanyian tadi. Lalu detik selanjutnya .....
Wanita dengan wajah secantik biasanya, auranya yang dingin, dipaksakan untuk tersenyum. Dalam sekelebat dia hadir dalam belakangku. Tangan dinginnya merangkul bahuku, persis kelakuan manjanya dulu.
Tak bisa kugambarkan lagi bagaimana keadaanku kini. Irama jantung, dangkalnya napas, goyah kaki, getar tangan, mata panas, bahkan keringat dingin kembali membanjiriku.
Wanita di belakangku mengusap bahuku manja, lalu tempelkan wajahnya di sana. Dia, masih lantunkan nyanyian sunyi ini. Nyanyian kala kami sering bertengkar dulu.
Lalu di akhir kalimat, dia ucapkan, "Aku masih sayang kamu, Al."
Tak berani menoleh, bahkan kurasa jiwaku sudah lari tunggang langgang sejak tadi. Tinggalkan raga, yang hanya tertemani sengal napas dan irama pemberotak si jantung.
"Tap ... tap ... tapi, kau sudah mati, Ser ...."
"Aku masih sayang kamu, Al. Kau akan kembali memaafkanku setelah kunyanyikan ini, seperti biasanya."
"Se, Se, Ser ...."
"Aku akan bersamamu, Sayang, selamanya. Aku akan memelukmu di sini, selamanya juga."
Sejak malam itu, hidupku tak lagi sepi. Juga, tak ada lelaki mana pun yang mengambil Serin dariku. Tak ada kejamnya dunia pula. Itu tak mempengaruhi keberadaannya sekarang.
Kemana pun, dia selalu memelukku. Nyanyikan lagu pengantar tidur, nyanyikan lagu kala sunyi menaungi. Bahkan, masih sanggup mencumbuku, seolah dia tak beda dariku.
Tapi, kala kudekati gadis lain. Dia nyayikan lagu serupa, begitu terpuruk, hingga aku merasa bersalah. Dan akhirnya kembali pada pelukkannya. jaguarqq
Tapi, aku juga lelaki normal, yang juga inginkan seks selayaknya pria lain. Hingga suatu malam mencengkam, wanita yang semalam beradu dalam ranjang denganku itu, mati degan mata dan mulut terbuka, seolah ketakutan melandanya sebelum ajal tiba.
"Serin, kau lakukan itu?"
Serin tersenyum, lalu kembali bergelayut pada belakang bahuku. "Seperti kamu, aku akan singkirkan wanita mana pun yang mau mengambil punyaku."
Aku tercekat, dia tersenyum. "Sayang, maafkan aku." Lalu detik selanjutnya, nyanyian itu kembali dia lantunkan, mengusir kesunyian malam dalam rumah kontrakkan.
"Aku sayang kamu," bisiknya di balik telingaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar