
Horor - Malam ini kembali terulang lagi. Malam ke tujuh dimana rasa aneh kembali menggelayuti dalam hati. Cemas, detak jantung terasa tak beraturan, gelisah, bingung, dan rasa aneh lainnya yang bercampur jadi satu.
Entah kenapa pikiranku selalu terarah pada wajah Laila. Gadis berwajah seterang rembulan, serta senyum semanis nektar yang bercampur lesung pipit kirinya. Dialah gadisku, yang mejadi satu-satunya alasan kujejakkan kaki di Jakarta.
Suasana rumah petak ditengah padatnya perumahan Jakarta, beberapa hari ini terasa mencekam. Ada desiran-desiran aneh kala duduk termenung sendiri ditemani teman sejati. Gitar.
Suasana hati yang selalu mengarah pada pujaan hati, membuatku lantunkan bait-bait bertema cinta dan kerinduan akan sesosok pacar. Kadang pada tiap lantunannya, kurasa bernyanyi bersama sosok Laila. Ah, halusinasiku sudah tingkat tertinggi rupanya.
Desiran aneh kembali dirikan bulu kuduk, rasa cemas akan seseorang yang mengamatiku kini amat terasa nyata. Ini gila! Sejak kapan seorang Panji takut akan hal seperti ini? Bahkan bersama genderuwo dulu, kami pernah berbagi ketela bakar bersama.
Rasa ini semakin menciutkan aliran napas, hingga kuputuskan untuk kembali ke kamar kost. Dalam langkah ke tiga, seorang gadis terlihat turun dari ojek di depan gang.
Wajah familiarnya langsung kukenali malam ini. Meski dalam remang lampu jalan, wajah rembulan itu langsung bersinar terang. Tapi tak seterang layaknya di ingatan terakhirku. Dia kini terlihat berbeda.
Kaki ikut tercekat, enggan melangkah. Tak mungkin semalam ini gadis manis itu menyusul ke sini. Apalagi tak mengirimi pesan sebelumnya. Ah, aku ingat, bahwa berada pada garis kemiskinan memaksa cinta kami terhalang tanpa bisa lancarkan perkomunikasian. Katakanlah hanya pada pesan singkat dan telepon yang bisa kami lakukan. Itu pun Laila harus bersusah mencari sinyal terlebih dulu. Takdir ini, tak memihak pada kisah kami.
Dari kejauhan dia tersenyum padaku. Langkahnya pelan, mata berkaca, wajah rembulannya terlihat dingin, bekas terpaan angin malam. Ah, apa aku terlalu berlebihan menggambarkan wajahnya yang memang terlihat sedikit pucat? bandarq online
Dia menghambur, memeluk erat, tubuhnya bergetar hebat. Entah apa yang terjadi padanya. Rambut panjangnya yang sedikit kusut kurapikan perlahan. Mencoba menenangkan.
"Ada apa, Laila?"
"Mas ... " suaranya parau, tubuhnya dingin saking gugupnya. Ada apa ini? Apa yang terjadi padanya hingga begini? "maaf, Mas," lanjutnya.
Desiran angin malam yang dingin, menemani kami. Duduk berdua menikmati rembulan dan bintang, layaknya kelakuan di kampung dulu. Rasanya ada kegetiran teramat dalam pada wajahnya. Bahkan bertanya pun, aku tak berani.
Satu-persatu temanku lewat bersama teman kencannya yang tiap kali berbeda. Kali ini mereka berikan cengiran yang kutahu apa artinya. Memang mereka pikir aku seperti mereka, yang terbiasa kencan dalam satu kamar? Ah, lupakan.
"Kau tau, kenapa kelelawar menyukai rembulan?" Gadis itu hanya terdiam, mata lamunnya masih sama seperti tadi seolah kosong. Tak lama kini malah terdengar isaknya pelan. Gawat, kalau ada teman yang dengar, pasti dikira sudah kuapa-apakan Laila.
"Baiklah, kita cari tempatmu beristirahat dulu." Segera kuberdiri.
"Ak-aku sudah beristirahat, Mas. Aku hanya ingin menemuimu."
Segera kududuk kembali, memandangnya lekat. Ah, mungkin gadisku teramat rindu. Kuusap perlahan bekas linangan matanya di pipi. Apapun itu, kumohon buatlah hati gadisku bahagia lagi. Apa keluarganya mau menjodohkannya lagi? Apa memang dia takut kutinggalkan, dan menelan mentah-mentah rumor, bahwa seorang perantau memiliki dua hati? Bahkan lebih?
"Aku masih untukmu, Laila. Bersabarlah, tabunganku sudah cukup. Minggu ini aku akan meminangmu."
Dia membuang muka, lalu kembali meneteskan bulir bening itu. "Mas, aku mau hidup lebih lama bersamamu. Melihat malam bersama seperti biasanya. Apa aku terlalu berlebihan? Menentang mereka, bahkan rela kabur dari rumah."
Hatiku tercekat, seolah akulah yang merenggut kebahagiaannya. Membuatnya jadi seorang pembangkang atas nama cinta. Tak kusangka, tak hanya aku yang menderita selama ini. Tak hanya aku yang menekan siksa batin. Gadis inilah yang lebih menderita seutuhnya.
Setan sempat merasuki dalam pikiran. Hadirkan desiran-desiran aneh yang rasuki sekujur tubuh, panas-dinginkan seluruh yang kupunya. Tapi demi apa pun, tak akan kuambil bunga sebelum waktunya. Dia sudah menderita, tak mungkin kujejali dengan nafsu dunia.
"Maaf," ucapan lemah itu yang mampu kuberikan sebagai pernghargaan atas perjuangannya selama ini.
Dia tersenyum, lalu menatap rembulan sembunyi di balik mendung. "Mas, kalo aku salah maafin, ya?"
"Apa kamu dijodohkan lagi?"
"Sampai kapan pun, aku memilih sendiri jika tak bisa bersamamu, Mas. Tapi ..." ucapan itu terputus lagi, "Mas, aku ingin malam ini di sini bersamamu. Bisa, kan?"
Kulirik sekitar, lalu melihat jam di benda pipih murahan yang bisa kubeli dengan harga paling terjangkau ini.
Jam segini, tempat ini sepi. Tak akan ada orang yang datang melewati jalan ini lagi. Lagipula, tempat ini jarang adakan ronda malam. Mungkin kami tak akan digrebek kalau hanya duduk-duduk berdua di sini.
"Mas, apa aku masih cantik?" ucapan itu mengagetkanku.
"Cantik," spontanku.
"Mas, boleh menikahi gadis lain."
"Apa maksudmu?"
Dia terisak, ah, aku tak tahan lagi. Segera kugapai tubuhnya, dan mencumbu bibir mungil nan dingin ini.
Di tempat ini, kami rebahan bersama, melirik bulan yang masih bersinar. Dia dalam pelukku, persis seperti yang kuinginkan dalam hidupku. Aku tak peduli lagi kalau ada penggrebek, maka aku akan minta dinikahkan saat ini juga. Terserah, akal sehatku memang sudah kugantungkan bersama bulan malam ini.
Kini dia bisa tersenyum, tertawa renyah dengan jari membuat rasi bintang. Kulirik lengannya yang kuning langsat, ada bekas lebam di salah satu sisinya.
"Kau terluka?"
"Aku senang hari ini, Mas. Besok aku akan pergi. Bisakah kau memelukku erat? Biarkan aku tidur di sini malam ini."
Ah, aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa gadis ini menyimpan semuanya rapat-rapat, yang bahkan ingin bertanya pun membuatku enggan.
Kulakukan sesuai keinginannya, memeluk tubuh dingin ini lebih erat. Entah kenapa, malam ini udara terlalu dingin, bahkan membuat tubuh wanitaku ikut dingin. Begitu pula bibirnya.
Entah siapa yang terlelap duluan, yang jelas kuhangatkan tubuh dinginnya dengan pelukkan. Benamkan kepala dalam dekapan. Tenang, dan damai. Tapi entah kenapa ada setitik rasa sakit di hati. Sebenarnya apa ini?
Guncangan membangunkan. Suara saling menyahut nama bisa kudengar. Mata terbuka, langsung terlihatlah mereka semua. Para teman seperjuangan.
"Ji, bangon. Hape situ bunyi teros tu ..."
"Aneh ni bocah, semalem tiduran di sini apa gak takut dikeloni Neng kunti?" suara lain menimpali.
"Paan bicaranya kayak doain aja," kulihat benda pipih, lalu meninggikan alis, "kok bapaknya Laila telepon, ya? Apa dia nyari anaknya? Loh, Laila kemana?"
Kedua temanku mengendikkan bahu. Gawat, apa Laila nekat pulang sendirian?
Saat itu juga, angkat kaki dari Ibu kota untuk kembali ke kampung. Perasaan aneh ini menyiksa. Laila, apa yang sebenarnya terjadi? Bahkan malam tadi kita bersama. Apa kau hari ini akan dijodohkan?
Perjalanan kurasa lambat, bus-bus antar kota minta didemo untuk mempercepat jalannya. Pikiran melayang, dalam dekapan semalam gadis itu menangis pelan.
Rimbunan pepohonan menyapa, ojek mengerutkan dahi, lalu tancap gas seolah mengerti. Dia tak banyak bicara, hanya berucap supaya aku mengikhlaskannya. Benar dugaanku, Laila akan dijodohkan.
Begitu sampai, mataku langsung menyisir kekosongan rumah gadis itu. Tak ada bekas pernikahan, apa aku terlambat? Apa dia dinikahkan di tempat mempelai pria?
Kuurungkan niatku memasuki halaman rumah Laila. Kurasa tepukan tangan di punggung. "Ikhlaskan Laila, Ji. Biarkan dia tenang."
"Pria mana yang mengambilnya dariku?"
"Ada tujuh orang, Ji."
"Maksudmu Laila dinikahkan massal? Semalam dia bersamaku, apa secepat itu orangtua kikirnya menikahkannya? Apa dia memang butuh uang banyak, hah?"
"Tenang, Ji, tenang. Kau salah paham. Bagaimana mungkin Laila menemuimu semalam? Astaga, dia masih belom bisa melepaskanmu rupanya."
"Apa maksudmu?"
"Di-dia udah gak ada, Ji. Ikhlaskan biar tenang. Gadismu diperkosa massal tujuh orang di kebon tebu. Dokter bilang dia banyak kehilangan darah karena robekan panjang bekas paksaan."
Mata tercekat, katakan ini semua hanya mimpi. Atau hanya bualan saja. Mana mungkin dia telah tiada, bahkan semalam kami lakukan itu untuk pertama kalinya.
Dan memang darah keluar banyak, tapi dia bilang tak apa-apa. Dia hanya membersihkannya dengan kain putih yang dia bawa.
Apa ini nyata? Bahkan cumbu gadisku semalam masih membekas di ingatan.
Tolong, kembalikan Laila. Bilang padanya ini tak lucu. Katakanlah aku gila dan tak percayai semuanya. jaguarqq
Tapi nyatanya memang benar. Laila, masih menemuiku malam ini. Kami bercumbu dan lakukan hal itu lagi dan lagi. Seolah lampiaskan apa yang dikatakan itu tak benar. Laila itu masih punyaku, sampai kapun pun.
Kini malam-malamku tak sepi lagi. Bahkan kembali ke Jakarta bersama Laila. Meski kata mereka aku gila, karena tak ada Laila di mata mereka. Jelas saja, Laila untukku dan hanya aku yang bisa melihatnya, hanya aku yang bisa memilikinya selamanya.
Setidaknya, kini kami bisa bersama. Lewati malam-malam panjang berdua, lakukan semuanya tanpa terhalang. Melihat bintang dan bulan, bahkan lebih.
Dia Lailaku, aku berjanji akan menjaganya kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar