
Tepat pukul delapan malam, guyuran hujan deras membanjiri jalan utama pedesaan terpencil. Lampu jalan hanya beberapa, dengan jarak yang cukup berjauhan.
Hamparan tanah kosong masih tersuguhkan, dengan beberapa pohon yang tersebar.
"Yah, masih jauh?" Wanita yang duduk di samping kursi kemudi mulai was-was. Matanya sejak tadi menelisik tiap sisi jalan.
"Katanya gak jauh setelah kita masuk gapura desa, Ma. Kalau Mama capek, tidur saja."
Wanita itu masih memandangi beberapa sisi jalan dengan sorot ketakutan. Apalagi sejak memasuki gabura desa, tak ada sekelebat orang pun yang berpapasan dengan mobil mereka. Jangankan sepeda motor, rumah pun masih belum terlihat sama sekali.
Wanita itu mendongak ke langit, menghitam dan guyurkan hujan semakin deras.
"Yah, kita sudah lama jalan, lho. Kok gak ada perumahan sama sekali?" wanita itu melirik sebuah pohon mangga, "Yah-Yah, lihat pohon mangga itu, berbuah kuning-kemerahan. Kayaknya kita sudah melewatinya beberapa kali. Iya, Mama hapal benar bentuk rimbun daunnya, juga rimbun buahnya." bandarq online
Pria berkumis tipis itu berdecak. "Mah, pohon mangga itu, ya begitu bentuknya, mau gimana lagi? Mama ini ada-ada aja, kalau capek, ngantuk, tidur saja."
"Ayah ini dibilangin gak percaya. Mama serius. Nah, lihat itu bambu yang tergeletak di sebelah pohon itu, ada dua, kan?" Wanita itu kembali menunjukkan sisi jalan.
Seketika pria itu kurangi kecepatan mobil. Dahinya mengernyit, mata itu sempat membesar tak percaya, lalu menoleh pada istrinya.
"Gimana ini? Telepon Ussy saja, Ma."
Wanita itu mengangguk cepat. "Halo, Ussy, Mbak tersesat."
Belum sempat pertanyaan terucap, mata wanita itu membesar seketika, mulutnya terbuka sempurna.
"Yah-Yah, it-itu di balik pohon, Yah." Tangannya tak berani menunjuk.
"Mana? Jangan nakut-nakutin lah."
Setelah pria itu ikuti arah mata istrinya, seketika itu dia mengumpat kesal, lalu tancap gas. Pria itu sesekali melirik kaca spion, dengan rintik keringat penuhi dahi.
Dalam tikungan tajam, dia empat dengan mecepata meninggi. Alhasi sepasang bocah yang tidur di kursi belakang seketika terbangun, dan mulai menanyai keadaan mereka.
Wanita usia tiga puluh tahun itu dengan sigap tenangkan anak-anaknya. Berbohong dengan alasan suaminya ingin mencoba kecepatan mobil barunya.
Kini yang ada sepasang bocah itu tersenyum puas, mulai menyoraki kemampuan mengemudi Ayahnya. Pria itu menambah kecepatan lagi tatkala didapatinya wanita berbaju serupa di ujung tikungan, balik pohon besar. Entah istrinya juga melihatnya atau tidak. Yang jelas, dia tak berani teriak, atau kedua anaknya akan ikut ketakutan.
Sedang si wanita membulatkan mata lebar-lebar tatkala ada serupa guling putih yang tengah berdiri di samping pohon pisang. Seketika dia istiqfar, menoleh sejenak pada suaminya, lalu menghadap ke belakang.
"Sayang, kalian hafalan surat pendeknya kemarin sampai apa, hayo? Sudah pada nambah apa belum?" Penuh senyum, wanita itu menyembunyikan ketakutannya.
"Surat ... surat ... surat apa, Kak? Riri lupa."
"Ya sudah, gimana kalau kita mulai dari Al-Fatihah, lalu dilanjut semua yang sudah Pak Latif suruh hafalkan? Kakak kalau adiknya lupa, pelan-pelan, supaya bisa ingat, ya?"
Bocah laki-laki itu mengangguk pelan, dengan menatap adiknya, mulailah mereka membaca hafalan surat-surat pendek.
"Ayo, kita sama-sama dan lebih kenceng, ya. Biar cepat hafalnya." Wanita itu tersenyum simpul, seolah tak ada kepanikan satu pun yang tersirat di wajah cantiknya.
Pria di sebelahnya tersenyum, lalu juga mengikuti lantunan surat-surat pendek itu. Hingga detik berganti, ketakutan pada sepasang suami-istri itu pun juga berganti dengan senyuman kepuasan dari hasil hafalan anak mereka.
Entah pada surat keberapa, hujan mereda. Aspal basah, mulai berganti dengan aspal kering tanpa bilasan dari air hujan. Dari kejauhan, rimbunan lampu perumahan desa mulai terlihat. Banyak, bahkan kini seolah berjajar penuhi pelupuk mata mereka.
"Alhamdulilah, kalian sudah pintar semua. Oya, nanti kalau di rumah Bik Ussy, gak boleh minta aneh-aneh, ya?" jaguarqq
"Iya, Ma. Ma, Bik Ussy akan ikut kita lagi, kan? Riri gak ada temennya kalau Kakak belum pulang."
"Iya, makanya kita jemput Bik Ussy, sambil kenalan sama orang tua Bik Ussy."
"Nah, kita sampai. Rumahnya gang pertama, kan? Itu dia Bik Ussy sudah nunggu kita," potong pria itu dengan senyum lebarnya, lalu mengusap keringat sebesar jangung di keningnya.
"Alhamdulilah, slamet-slamet."

Tidak ada komentar:
Posting Komentar